Tak terasa sudah lima bulan aku berpacaran dengan Radit. Kegiatan kami sejak pacaran standar saja seperti mahasiswa yang sedang pacaran pada umumnya; berangkat dan pulang kuliah bersama meski tidak selalu, makan malam bersama, atau terkadang mengerjakan tugas bersama di kosku. Kupikir memang hal itu wajar dilakukan oleh orang pacaran jadi aku merasa hubungan kami baik-baik saja. Apalagi kami selalu bertemu setiap saat. Oleh sebab itu, aku tak pernah berkirim pesan padanya kecuali keadaan mendesak semisal begini: Kamu ada di kos? Tolong ke kos aku dong. Angkatin galon biar aku bisa minum. Soalnya susah kalo dituang ke gelas langsung. Ya, galon memang urusan penting antara hidup dan mati karena kalau galon tidak terpasang di dispenser akan sulit untuk menuangkan airnya.
Tapi ternyata pertemuan kami yang sudah mengalahkan rekor minum obat penurun demam dalam sehari tidak memberikan kepuasan pada Radit. Sikap Radit yang biasa saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa ternyata menyimpan banyak kebohongan. Padahal aku senantiasa berbaik sangka padanya.
"Kamu ngga peka," dalih Radit waktu itu, waktu aku akhirnya bisa membongkar kebohongannya. "Kamu terlalu cuek sama aku." Dia mengemukakan alasan yang membuat aku ternganga.
"Cuek gimana maksudnya?" Aku ga ngerti.
"Yaaa, kita jarang banget SMS-an, Mir. Kalopun kamu SMS itupun cuma tanya udah di kos atau belum. Ingetin jangan lupa solat. Atau minta tolong angkatin galon. Udah. Apa kamu pikir aku ini mas-mas tukang anter galon apa gimana?"
"Terus aku kudu SMS apa ke kamu? Masa mau nanya kamu masih bernapas nggak, atau ingetin buat napas, atau suruh kamu angkat beban penderitaan fakir miskin dan anak-anak terlantar yang pada kenyataannya tidak dipelihara oleh negara dan menyalahi isi UUD '45? Begitu?"
"Mir, kamu tuh ga pernah serius ya jalanin hubungan ini?" Tuduhnya semena-mena.
"Kok bisa kamu nuduh aku begitu?"
"Lah, itu buktinya. Aku protes kamu ga peka tapi jawaban kamu malah gitu."
"For God's sake, peka versi kamu itu kayak apa sih, Dit? Yang harus SMS kamu tiap saat, tiap detik, tiap menit, tiap jam gitu? Kita ketemu tiap hari, Dit, dan kita satu kelas di tiap mata kuliah. Itu semua belum cukup?" Aku mulai ngos-ngosan karena emosi.
"Kamu ga pernah peduli aku kemana. Ga pernah tanya aku lagi apa." Radit berusaha mencari pembenaran lain.
"Itu berarti aku percaya sama kamu. Kepercayaan itu mahal harganya. Aku tahu kamu udah gede, udah dewasa, jadi aku mau kamu gunain kepercayaan dariku itu sebaik mungkin. Aku ga mau ngekang kamu. Kamu bukan kuda, Dit. Hewan aja kalo dikekang terus-terusan juga bisa berontak apalagi manusia. Manusia ga bisa dikekang. Apalagi kamu cowok. Aku tau cowok itu suka banget kumpul sama temen-temennya. Aku ga mau cuma gara-gara pacaran terus aku jadi bikin kamu kehilangan temen. Mereka kenal kamu lebih dulu daripada aku." Aku membeberkan alasanku yang jarang sekali SMS Radit.
"Tapi seenggaknya kalo kamu SMS begitu kan kamu merhatiin aku." Radit masih berkilah.
"Emang tanda orang perhatian selalu seperti itu? Kamu yakin itu bukan tanda orang mau cari tau? Mau interogasi?"
Radit masih terdiam saat aku melanjutkan, "Jujur, kalo kayak gini aku kecewa banget sama kamu. Andai kamu tau kalo aku selalu berusaha berbaik sangka sama kamu. Bahkan pas Ryan dan Zico tempo hari manas-manasin aku dengan bilang kalo kamu jalan sama anak sekampus itu juga aku masih ga mau percaya. Karena apa, Dit? Karena saking percayanya aku sama kamu."
Sebagai informasi, Ryan dan Zico adalah teman ngeband Radit yang kebetulan juga teman satu kosan. Ryan dari jurusan Sastra Inggris tapi beda kelas denganku dan Radit sementara Zico dari jurusan Sastra Indonesia. Beberapa hari sebelumnya mereka memang pernah berkata padaku bahwa Radit jalan dengan cewek anak Sastra Inggris juga pas malam Minggu. Tapi karena kedua orang itu memang sering becanda aku tak menanggapinya dengan serius.
"Mir, kalian bakal putus ga kalo aku bilang Radit jalan sama cewek lain pas malam Minggu kemaren?" Tanya Zico. Zico memang yang paling gencar menggodaku untuk putus dari Radit karena menurutnya Radit terlalu ampas untukku yang bagai batu akik. Kulihat Radit diam saja tak menunjukkan ekspresi yang mencurigakan.
Zico makin tak gentar. Dia melanjutkan. "Namanya Nita, Mir. Anak Sasing 2006 juga kok. Tapi beda kelas. Anak kelas A ya, Dit, kalo ga salah pas kamu cerita tuh?" Zico bertanya pada Radit sambil cengengesan.
"Apaan sih, Co?" Radit tampak sebal tapi dia terus mengarahkan pandangannya ke ponselnya untuk bermain Snake di ponsel Nokia-nya.
"Lah, pura-pura lupa deh ente. Belum lama juga kan perginya? Kemana, Co, katanya? Bakso Bogem?" Ryan tak kalah memanasi sambil mengerling jahil pada Zico.
"Lah, bukannya makan ayam bakar di ABG 8? Yang bener yang mana, Dit?" Zico makin menyulut percakapan jadi semakin panas.
"Apa mungkin udah jalan lebih dari sekali ya, Co?" Ryan masih terus mengoceh karena diamnya Radit seolah ditafsirkan sebagai tanda setuju dibully.
"Wah, bisa jadi tuh, Yan!"
"Heh, congor bisa pada diem ga sih?" Radit akhirnya beralih dari ponselnya ke wajah Ryan dan Zico. Alih-alih merasa takut karena gertakan Radit, Ryan dan Zico justru makin melebarkan senyum jahil mereka.
"Cek aja hapenya Radit, Mir, mungkin masih nemu tuh SMS-nya ke Nita tempo hari. Ups!" Ryan menutup mulutnya setelah berkata begitu.
"Gimana sih ente? Kalo ngomong gitu nanti langsung dihapus dong SMS-nya." Zico menoyor kepala Ryan.
"Iya, maap maap." Ryan menangkupkan kedua tangannya memberi isyarat minta maaf padaku.
"Ngapain cek-cek hape segala? Mending tanya langsung kan ke orangnya. Ya kan, Dit?" Tanyaku. "Kamu pas malem Minggu itu beneran mau nge-jam sama temen-temen ngeband apa jalan sama Nita? Mana yang bener?"
Radit tak langsung menjawab.
"Aku nge-jam kok sama mereka. Aku latian. Iya kan?" Radit memandang Zico dan Ryan.
Keduanya melambai-lambaikan tangan ke arahku dengan maksud ingin mengatakan bahwa Radit berbohong.
"Heh, emang kalian pikir yang ngedrum tempo hari itu siapa, Cok?" Radit mulai berang.
"Radit emang latian, Mir, tapi ga ada sejam udah cabut. Katanya mau jemput orang. Kirain kamu ga taunya selingkuhan." Ryan benar-benar sudah memprovokasi.
Tapi aku tak lantas percaya begitu saja dengan cerita Ryan dan Zico kala itu. Aku masih berusaha percaya dengan Radit sebagai pacarku. Lagipula hubungan kami baru lima bulan kan? Mana mungkin dia sudah bosan? Namun, kepercayaanku luruh seketika tatkala aku mendapati pesan masuk dan keluar di ponsel Radit dengan nama Nita hari ini.
Dit, nanti malem jadi ke Bakso Pekih? Katanya enak loh bakso disana. Apa kita ke Ichi Bento aja? Terserah kamu deh yang penting cepetan. Aku kangen. Eh, aku laper maksudnya. Hehehe. Miss you. :)
Tapi aku tidak marah. Aku kecewa. Aku kecewa karena kepercayaan yang selama ini kuberi disia-siakan begitu saja.
"Kamu ga marah?" Dia bertanya heran melihat ekspresiku yang begitu tenang.
"Karena aku cuma pacar. Aku ga punya hak buat ngekang kamu. Dan kamu bisa jalan sama siapa aja. Aku cuma kecewa karena kepercayaan dariku ga ada artinya buat kamu."
"Kamu ga cemburu?"
"Emangnya harus?"
"Ya kan kita pacaran."
"Kamu jalan sama dia karena kamu suka? Kalo emang kamu suka kenapa kamu ga lepasin aku? Kalo kamu udah ga cocok sama aku, kamu bisa tinggal bilang kok."
"Semudah itu?"
"Why not? Karena kamu pikir cemburu itu perlu? Cemburu itu tanda cinta? Kalo aku ga cemburu berarti aku ga cinta? Trus kalo kamu udah ga nyaman sama aku tapi aku ga mau lepasin kamu apa itu cinta? Apa itu adil?"
Aku mendengus lelah, "Terserah kamu, Dit. Intinya aku bebasin kamu. Kalo kamu capek atau ga suka sama aku yang seperti ini, kita udahan aja. Tapi kalo kamu nuntut aku buat peduli dalam versi kamu, oke aku bisa turutin. Tapi jangan sampe kamu protes juga karena itu."
Dan setelah itu aku pun pergi berlalu dari hadapannya. Aku bener-bener ga ngerti jalan pikiran Radit. Tapi semoga dengan ini dia bisa mengerti arti sebuah kepercayaan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.