21. Salahnya

756 90 159
                                    

Happy reading


"Ini gue dulu yang ambil, Bang!"

"Gue dulu yang lihat, Dek!"

Bukannya segera memakan makan malam yang sudah tersaji di atas meja, Magnus dan Al malah berebut buah stroberi yang hanya ada satu buah di ranjang. Buah yang mengandung antosianin sebagai antioksidan itu sudah ada di genggaman Magnus.

Al mendelik tajam ke arah Magnus. "Lo kan udah bawa siang tadi. Itu jatah gue!"

"Nggak! Lo bilang sendiri kalau orang macem gue butuh ini. Jadi ya lo ngalah lah," sahut Magnus yang kini menggoyang-goyangkan buah itu di hadapan Al disertai cengiran mengejek.

"Ya nggak baik juga lah kalau berlebihan. Sini, itu jatah gue!" rebut Al meraih buah itu.

Buah stroberi menjadi favorit keduanya. Bertengkar hanya karena memperebutkan buah ini jelas menjadi pertarungan sengit.

"Abang," goda Magnus mulai memasukkan buah itu ke dalam mulutnya dengan gerakan pelan.

"Dek, itu jatah gue!" sungut Al mulai marah.

"Nggak! Siapa cepat dia dapat!" seru Magnus mempertahankan buah stroberinya.

"Oh, lo nantang." Al berdiri, kemudian mendekat ke arah Magnus.

"Kalau iya kenapa?" tantang Magnus.

Tatapan tajam Al tertuju kepada Magnus yang masih mempermainkan stroberinya. Al menunggu Magnus lengah. Ketika Magnus mulai abai dengan sekitar, Al dengan cepat meraih pergelangan tangan Magnus.

"Eits, udah gue kunyah." Magnus menampilkan wajah sok bersalahnya yang membuat Al semakin geram.

"Adek durhaka!" dengus Al membuka piringnya.

"Abang nggak mau ngalah!" balas Magnus tajam.

"Dasar sikat gigi bau!" cibir Al.

"Dasar sikat wc!" timpal Magnus.

"Das--"

"Sudah-sudah. Ini kok masalah stroberi aja berantem." Bi Tina yang baru saja kembali setelah membuang sampah terkejut saat mendapati pertengakaran di ruang makan.

"Adek dulu yang mulai, Bi!" ujar Al datar.

"Lo kali, Bang," kilah Magnus membela diri.

"Lo, Dek!" Al mengacungkan sendoknya ke arah Magnus.

"Lo, Bang!"

"Diam!"

Suara dingin nan tegas yang jarang mereka dengar langsung menghentikan perdebatan tak berfaedah dari Al dan Magnus. Al menjadi urung menyuapkan nasi ke mulutnya, sedangkan tangan Magnus gemetar hendak mengambil nasi.

Naba menyoroti satu persatu orang di ruangan ini tajam sebelum duduk di samping Al.

"Laporan macam apa ini?" Naba menyodorkan selembar kertas ke tengah meja.

Tubuh Magnus menegang. Pada akhirnya surat itu sampai ke tangan Naba, meskipun bukan dia pengantarnya. Al memandang Magnus khawatir saat tangan Magnus tampak memegang sendok erat dan gemetar.

"Mag, nggak salah, Pa," bela Al melihat ekspresi Magnus yang sudah berubah.

Naba nampaknya tidak mengindahkan perkataan Al. Matanya menatap tajam Magnus yang terdiam. Pekerjaannya yang belum usai di kantor, terpaksa harus ia hentikan saat mendapat surat dari MHS mengenai Magnus, meskipun sempat heran masih ada surat masuk di pukul tujuh malam.

BAOBABTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang