33. Tardigrada (2)

656 79 8
                                    

"Kalian berdua keluar dari calon Tardigrada!" Harsa berucap tegas yang berarti tidak bisa dibantah.

Seluruh pasang mata junior seketika membulat. Terutama Magnus dan Sergio yang kini menjadi pusat perhatian. Bahkan, Magnus sempat meraih dada kirinya ketika sensasi nyeri kembali hadir.

Magnus dan Sergio bertemu mata sejenak. "Tidak! Kami tidak akan keluar dari sini apapun alasannya!" ucap keduanya bersamaan dengan lantang.

Seketika tawa terdengar menggelegar. Membuat para junior kebingungan. Pola pikir senior terasa aneh. Memang berbeda. Namun, terdengar menyesatkan. Apa benar, ini sikap anak Tardigrada yang sebenarnya? Siswa yang paling menjadi panutan ini kenapa justru bersikap yang tidak benar? Jika memang kelakuan asli anak Tardigrada mirip siswa tidak tahu aturan, mengapa sekolah tidak membubarkan saja geng ini?

"Itu perintah, Dek!"

Magnus dan Sergio kompak menggeleng. "Beri kami satu asalan kenapa kami harus keluar, Bang!" pinta Magnus tegas.

Harsa menatap Magnus sengit. "Masih tanya? Kamu nggak punya sopan santun, Dek. Nggak ada yang merintah kamu untuk ke sini dan lihat apa yang kamu lakukan. Apa itu pantas dilakukan saat ada senior?" Tatapan Harsa beralih ke Sergio. "Dan kamu, kesalahanmu tidak dapat ditoleransi. Tidak memperbolehkan kejujurannya itu ada. Jelas itu salah!"

"Siapa lagi yang mau keluar? Silakan. Tidak usah ada Tardigrada 55. Kalian nggak penting. Yang masih di sini siap-siap nilai sikap C oke?" Senior itu kembali meneriaki hal sama sampai terdengar bersahut-sahutan.

Pasang mata milik junior saling berpandangan. Seolah sedang berkomunikasi melalui tatapan mata. Sampai barisan itu pelahan bubar. Setiap pasang kaki mulai berjalan menjauh, lebih memilih mempertahankan nilai sikap daripada bertahan di sini.

"Yo, silakan keluar yo. Yang ingin keluar dipersilakan mulai sekarang. Yang masih mau di sini juha boleh. Eh tapi-tapi nilai C nggak naik kelas loh." Salah satu senior kembali memanas-manasi. Suasana semakin tidak kondusif. Para senior juga bersikap tidak peduli dengan junior yang mulai menjauh.

Nouri, cowok itu seketika menghadang langkah temannya yang sedang keluar barisan. Disusul oleh beberapa cowok lain yang mengikuti jejaknya. Siswa lain memilih diam di tempatnya, bingung harus mengambil keputusan apa.

"Apa maksud lo?!" tanya Nouri dengan nada tinggi.

"Gue nggak tahan kayak gini. Ini asli geng nggak bener. Mereka busuk." Cowok yang dihadang itu menjawab dengan emosi.

"Nggak! Lo lebih mentingin nilai? Perjuangan lo sia-sia." sergah Nouri masih mempertahankan temannya.

"Bukan karena nilai sikap itu. Kalau gue bisa gunain otak buat nama sekolah. Pasti nilai gue akan naik kan? Selembar kertas itu nggak begitu penting buat gue," tangkas cowok itu seketika membuat Nouri mematung. Otaknya terasa teracuni sejenak. Namum, ia segera menggeleng dan tetap bertekad mempertahankan semuanya.

Lapangan upacara yang tadinya hening itu seketika ricuh. Senior yang terus mengompori agar para junior keluar, perdebatan dari satu siswa ke siswa lain agar tidak keluar. Sinar matahari yang semakin terasa panas membuat suasana semakin kacau balau tidak kondusif.

Teriakan ricuh saling sahut menyahut. Memang tidak ada adu kekuatan di sini. Namun, suara berisik itu dipastikan bisa terdengar ke seluruh gedung sekolah mengingat yang berteriak adalah para lelaki.

"Temenmu loh, Dek pada mau keluar. Masa kamu masih stay diem di sini. Ngapain? Nggak guna udahan." Suara Harsa kembali terdengar di telinga Magnus. Seketika ia menoleh, mencari jawaban yang dapat menyudutkan seniornya itu.

"Tahu, arti korsa kan, Dek?" Harsa kembali bertanya.

Magnus menoleh ke Sergio sejenak, lalu mengangguk. "Korsa di sini berarti kesamaan tujuan, kepedulian, tindakan kesetiakawanan yang terorganisasi dalam balutan kesatuan," jawab Magnus cepat dan lantang.

BAOBABTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang