42. Perebutan wilayah

719 84 13
                                    

Etika, ucapan, dan tindakan adalah hal yang bisa membunuhmu jika kamu tidak bisa menjaganya dengan baik.

~Magnesium Zenith Nabastala~

Happy reading

"Bang, lo ngapain bawa gue ke sini sih? Gue nggak apa-apa."

Al menghela napas ketika mendengar rengekan dari Magnus. Al langsung membawa Magnus ke IGD tanpa mampir ke rumah terlebih dahulu. Lima jam di IGD, sepertinya sudah bisa mengembalikan tenaga Magnus.

"Pengen aja," jawab Al singkat. Ia memandang intens wajah adiknya yang masih terbaring di brankar. "Kenapa?" tanya Al.

"Pulang yuk, Bang. Ya?" pinta Magnus menggoyangkan lengan Al. Nyatanya, sampai saat ini Magnus masih benci ketika harus terbangun di tempat ini. Ditambah lagi harus ada nasal kanula di hidungnya.

Al menggeleng pelan. "Nunggu Dokter Damar dulu, Dek. Gue pengen diskusi soal ini." Cowok itu menggoyangkan selembar kertas kecil di tangannya.

"Kertas EKG?" tanya Magnus dengan kening berkerut.

Al mengangguk. "Iya, gue udah pengen sedari lama. Nunggu jadwal lo check-up kelamaan."

Cowok di atas brankar itu hanya bisa melengos. Percuma juga melawan. Sejujurnya ia juga penasaran pada tubuhnya yang jadi sering cepat lemas dan lelah semenjak hasil terakhir itu lebih buruk dari sebelumnya. "Gue mau mati ya, Bang?"

Pertanyaan dari Magnus, membuat Al melotot. Ia menarik napas dalam, kepalanya terangkat sedikit sebelum kembali memandangi Magnus. "Kalaupun itu akan terjadi, sebisa mungkin gue bikin lo balik lagi."

"Lo mau nyiksa gue, Bang?" tanya Magnus lirih.

"Nggak. Gue cuma ngelakuin apa yang harus gue lakuin," jawab Al yakin meski ada kegetiran di hatinya.

"Buat apa? Emang ada yang harus dipertahankan? Hidup gue itu nggak guna, Bang!" Nada bicara Magnus meninggi. Otaknya seketika terus menyuruhnya mengatakan hal kurang wajar yang seharusnya tidak diucapka. Meski semua itu benar.

"Bahkan, orang tua kita aja cuma peduli ke lo. Ke gue? Nggak sama sekali! Buat apa gue hidup?" Magnus mulai terisak. Ia kembali menangis. Magnus kembali kepada titik terendahnya saat ini.

Dapat Al rasakan cengkeraman tangan Magnus yang kuat di punggung tangannya. Al tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya menjadi Magnus. Melihat adiknya yang menunjukkan sisi pesimismya, membuat Al merasa gagal.

"Udah, ya. Dokter Damar udah selesai kayaknya," ucap Al setelah Magnus kembali tenang.

"Tahu dari mana?"

"Sumedang," jawab Al dengan wajah datar.

Magnus menarik tangannya cepat. Jawaban tak bermutu itu membuatnya kesal sekaligus cemberut. Ia mengumpat dalam hati disertai gerakan bibir tanpa suara.

Al malah tertawa lebar melihat ekspresi kesal adiknya. Ia mengusap rambut Magnus sebentar sebelum melangkahkan kaki menjauhi brankar Magnus.

"Punya abang satu kampret banget. Gue jual lo lama-lama, Bang!" desis Magnus tajam menahan kekesalannya.

***

Rabu malam, Magnus benar-benar niat untuk menjual kakaknya. Ia memfokuskan matanya pada gawainya yang menampilkan sebuah aplikasi edit foto. Nantinya, ia akan meminta bantuan kepada pemilik akun gosip sekolah untuk mempromosikannya.

BAOBABTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang