I

6.3K 330 26
                                    

"Hei, Pemuda! Kau akan mengalami kejadian luar biasa."

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan seorang dukun kota, yang dia--pemuda, berhidung nyaris sempurna, mata bulat, kening yang tak terlalu sempit, rahang tegas, dengan warna brown pada rambut lurusnya--kunjungi, sebelum dirinya menghilang dari balik tirai. Bukan, bukan dia yang minta di ramal. Tapi, sahabatnya yang memang rutin juga sangat gemar, tiap awal bulan datang ke sana. Guna membaca keberuntungan, asmara, keuangan, dan sesuatu yang ingin dia ketahui, entah apa itu.

"Semoga yang dikatakan dukun itu benar."

"Kau percaya?" Sahabat karibnya itu tersenyum sumringah. Dan hanya gelengan kepala, seperti biasa yang jadi reaksi si brown, pemilik iris berwarna biru itu, nampak tidak biasa bagi orang Asia, sepertinya.

"Lagian, ramalanku bagus-bagus. Jodohku datang sebentar lagi, keberuntungan membawaku ke tempat yang indah. Lalu, keuanganku meningkat." Celoteh pemuda narsis, dan punya julukan si 'tampan gila' itu bahagia.

"Meningkat pengeluarannya?"

"Apa kau bilang?!"

Bruk!

"Ow!" Pekik teman brown, keras.

"Maaf, aku tak sengaja." Bukannya menjawab, dia malah terpesona. Dan menyenggol-nyenggol lengan si brown brutal. Terpana akan gadis manis di depan mata.

"Kan, jodohku sudah tiba." Memutar bola matanya jengah, brown memilih pergi meninggalkan teman gilanya di trotoar khas dari paving, emperan toko, yang mengarah ke stasiun bawah tanah.

"Flo. Kita bertemu lagi nanti, sepulang kerja." Kata pemuda brown, sebelum dirinya berlari. Karena sudah waktunya dia naik kereta. Flo belum bekerja, bahkan dia masih menempuh pendidikannya, tapi sudah punya keinginan menikah muda. Dia pemuda ceria dan penuh semangat, walau banyak bicara.

Merapatkan penghangat tubuhnya, karena udara yang cukup menusuk tulang belulangnya. Padahal jaket yang dia beli di pasar loak, dengan harga jauh dibawah normal itu, sudah cukup tebal. Masih menunggu kereta bawah tanah, yang beberapa sekon lagi akan tiba.

Tak bosan, melakukan ini setiap pagi. Iya, memang ini pekerjaannya. Menuju ke ladang peternakan kuda. Mahanta Seta--atau panggil saja dia Seta dan jangan sekali-kali ditambahi huruf n-- menjadi pengasuh beberapa kuda disana.

Di sebuah desa, yang masih mempertahankan keasriannya, ditengah gempuran modernisasi. Tanah masih menjadi jalan utamanya, atau jalan setapak dari susunan bebatuan. Rumah dengan konstruksi kayu. Cerobong asap sebagai hiasan paling menarik setiap obsidian.

Menempuh sekitar 30 menit dari pemberhentian stasiun. Menggunakan gerobak sapi pengangkut jerami, untuk pakan ternak.

Termasuk desa wisata, dengan segala ketersediaan dari perkebunan, persawahan, perkemahan, ladang peternakan. Ah! Seta juga biasa menjadi tour guide, kalau para wisatawan datang ke ladang.

"Pagi Jess!"

"Hai, Ta!"

Pria kaukasia, rekan kerja Seta. Sedang bersiap mencari pakan untuk Morgan. Kuda berwarna hitam ini memang terlihat elegan dan misterius. Namanya pun keren, yaitu Morgan. Kuda ini memiliki tubuh yang padat, kaki yang kuat, mata yang ekspresif dan tubuh berotot.

 Kuda ini memiliki tubuh yang padat, kaki yang kuat, mata yang ekspresif dan tubuh berotot

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang