Kala

16 2 0
                                    

Manusia berada dalam waktu, terkurung dalam waktu dan mengatasi waktu.

Kalimat itu, jujur terus muncul di dalam kepala hingga detik ini. Ini sudah memasuki minggu terakhir bulan Agustus, bahkan mungkin akhir dari cerita bulan ini juga tentang kamu. Namun, pesan yang kamu kirim tiba-tiba sekitar sepuluh hari silam itu masih aja suka muncul.

Kamu menghubungi hanya untuk mengajakku berpikir sebelum pukul 20.00 dan sukses bikin aku kaget.

Aku kasih kamu olah otak, "manusia berada dalam waktu, terkurung dalam waktu dan mengatasi waktu".

Butuh beberapa detik buat aku menangkap apa makna dibalik kalimat yang kamu tulis. Tapi sayang, aku nggak ngerti. Lalu, aku bertanya ke kamu apakah ada kalimat selanjutnya yang kamu jawab nggak ada. Aku paham atau nggak? Kalo nggak paham kamu suruh belajar. Ini yang aku suka dari kamu sekaligus membuat aku sedikit kesal. Setiap kamu memberikan ilmu baru selalu kamu menyuruhku untuk mencari sendiri lebih dalam. Katamu ilmu itu mahal. Kemudian aku menebak. Memberikan beberapa opini sebelum kamu menjelaskan sedikit dengan sebuah analogi. Bunyinya kurang lebih seperti ini:

Sama kayak, "masa lampau, kini dan yang akan datang".

Aku berpikir keras, mengumpulkan beberapa kemungkinan sampai panjang kali lebar sebelum kamu menulis jawabannya sebenarnya simpel. Tapi bukankah filsafat memang seperti itu? Katamu. Jadi, posisi aku di dalam waktu itu intinya adaptasi. Lalu kamu mau ngasih aku kalimat romantis yang sudah kamu filsafati. Jelas. Aku mau banget. Selama kurang lebih lima bulan nggak berpikir ternyata bikin aku nggak kaya dulu. Awal-awal kita berdiskusi. Katamu aku noob. Menyebalkan.

Aku dan engkau yang menjadi kita ini tidak dapat dijadikan objek, tidak pula dapat dirumuskan, hanya dapat dipahami di dalam kehadiran.

Aku tersenyum. Memaknai dua kalimat sederhana yang kamu kirimkan. Bertanya, kamu habis ngapain aja sampe mau ngajak aku berdiskusi seperti ini. Katamu, kamu habis membaca buku filsafat manusia. Belum tuntas, sih. Masih 94 halaman lagi. Sambil tertawa kamu bertanya yang kamu tulis bagus atau nggak. Aku mengiyakan. Lalu, pikiranku mengarah pada kata adaptasi.

kalo di dalam waktu harus beradaptasi, terus untuk kasus anterograde amnesia  harus tetep beradaptasi?

Katamu itu sudah suatu keharusan. Aku jelas belum puas dengan jawaban itu hingga keputusanku jatuh pada bertanya dengan seorang kawan yang kuliah di fisiotherapi. Katanya nggak bisa disembuhin karena penyumbatan di saluran otak. Tapi masih bisa disembuhin pake terapi. Aku jadi bingung tapi yaudahlahya. Kita lanjut lagi pembahasan kita.

Mengenai kalimat romantis, aku beropini dan sedikit memahami tentang puisi cinta yang kamu kasih ke aku. Katamu kok bisa-bisanya aku paham cuma karena baca kalimat itu? Padahal maknanya jauh beda. Kalimat tentang kita itu aja baru kamu bikin.

Cinta, menjadi skeptis, kau butuh nalar lurus dan intelegensi. —A

Aku baru aja menjelaskan satu penggal menuju penggalan selanjutnya ketika kamu menyalahkan opiniku. Menyebalkan. Katamu aku harus belajar lagi. Selain itu, kamu bilang kalo ada event membuat karya romantis, pasti sudah kamu daftar sepuasnya. Aku mengira kamu mempelajari banyak tentang filsafat cinta. Ternyata, kamu hanya memperlajarinya tigaperempat saja. Lalu berdebatan kita muncul lagi.

Dari bagaimana soal buku-buku novel, analogi-analogi yang aku kirimkan katamu terlalu mudah, aku yang mau memborong semua buku filsafat yang kamu balas dengan sangat songong. Nanti habis uangku. Menyebalkan sekali ya anda. Nggak sampe disitu, perdebatan mengenai singkatan perpustakaan daerah pun kita nggak kelar-kelar. Fix, sih. Selain menyukai filsafat, aku juga lupa kalo kamu anak Hukum dan Kewarganegaraan. Jelas aja aku kalah. Kamu tersenyum penuh kemenangan. Katamu aku nggak kalah. Cuma lebih dulu kamu yang baca buku. Aku menyuruhku untuk berhenti dulu membaca, mau aku setarain dulu rencananya. Tapi kamu mengiyakan terkesan mengejek. Memang susah gampang diskusi dengan seseorang berinisial A ini.

Aku juga pernah mendengar, seseorang yang dipanggil namanya itu bisa membuat suasana yang baru. Awalnya aku biasa aja. Tapi waktu kamu mengganti panggilan biasanya dengan menyebut namaku saat mengomentari narasi tentang pemimpin kota, aku terdiam. Jelas kaget. Meskipun agak kaku, tapi aku suka. Gimana ya ngejelasinnya. Selain kamu yang terkenal fucekboi di lingkungan fakultas, kamu pernah memanggil temanku seperti itu. Terkesan mengistimewakan. Tapi kali ini, aku ngerasa ternyata efeknya bener ada. Lalu, kamu juga mau repot-repot membuatkan narasi itu sekalian judulnya. Aku seneng banget. Soalnya lagi ngebantuin temen juga. Waktu kamu aku tanya soal komentar mengenai narasi. Disitu kamu menolak. Katamu aku harus belajar ngekritik. Kamu menyebut namaku lagi. Meyakinkan bahwa aku bisa. Jujur seneng sekaligus kesel. Semuanya berlanjut terus. Opini aku berhasil menyelesaikan.

Oh iya, kamu juga sempat aku suruh menilik bagaimana puisi yang judulnya pernah aku minta dari kamu. Kamu mulai songong lagi tentunya. Terus aku memberitahu juga bahwa puisi itu lolos dengan memegang juara satu. Kamu tersenyum.

Tau apa yang bikin seseorang kadang labil? Diberi harap setelahnya dihancurkan oleh harapan itu sendiri. Di sini sedang hujan. Aku duduk di teras rumah menghirup aroma rumput yang basah. Menuliskan tentangmu dengan penuh perasaan. Sebenarnya aku nggak tau, ternyata mengagumimu begini rasanya. Seorang kawan bercerita banyak lagi tentang fakta-fakta buaya kamu. Aku tersenyum. Jelas terlihat dipaksakan. Aku nggak punya perasaan apa-apa selain kagum dengan pemikiran kamu. Tapi, melihat bagaimana kamu memang se-buaya itu bikin aku mundur. Baiknya menjaga jarak lagi. Takut melibatkan hati.

Di malam minggu ini, kamu mungkin sibuk dengan persiapan menuju kuliah. Menyusun krs atau juga menikmati kopimu lagi. Atau bersendagurau dengan teman-temanmu. Terserah. Apapun yang kamu lakukan, terima kasih sudah hadir. Terima kasih perbincangan yang membuat aku berpikir. Karena jujur, aku akhir-akhir ini sering overthinking. nggak enak banget ya. ya udah itu aja. Sampai ketemu di malam minggu, tentunya di bulan-bulan berikutnya. Mungkin bulan depan akan aku ceritakan tentang seseorang ke kamu. Nggak tau juga jadi atau nggak.

A. Selamat malam minggu. Jangan lupa istirahat yang cukup. Aku tau kamu rutin berolahraga, tapi pola makan dijaga ya. Biar kita bisa berdiskusi lagi dilain kesempatan.

To be continued
Published on August 29, 2020

Salam sayang,
Elokvitaloka

Ga sabar ketemu A menikmati indahnya paralayang bareng, muehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ga sabar ketemu A menikmati indahnya paralayang bareng, muehe.

KATA KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang