Serendipity

10 2 0
                                    

Terkadang, banyak hal di dunia ini dari cara yang sederhana bisa membuat kita lupa. Lupa untuk mengabadikannya. Aku nggak tau mau cerita ini darimana, karena jujur ini udah lumayan terlambat dua hari untuk bercerita. Mas A, semoga kamu masih mau mendengarkan ya. Kalau nggak pun aku akan tetap menulis ehe.

Segala sesuatu yang keliatannya indah memang kadang cuma jadi figura. Aku yang dulunya pengen banget ngerasain kebebasan dari tugas atau sekola yang full day, selalu beranggapan kuliah semenyenangkan itu. Pasti seru deh, kalo ngerjainnya sambil nongkrong atau duduk dengan pemandangan alam yang bikin pikiran bebas menerawang. Tapi, kalau ingat kalimat kamu, seseorang yang berinisial A, aku jadi tersenyum.

Kuliah sesuai ekspetasiku adalah pada saat semester awal-awal dimana aku bisa jalan-jalan, nongkrong, naik gunung apapun itu jadwalku. Katamu rasain nanti. Dan beneran dong. Asli. Baru awal mata kuliah aku udah capek banget. Mulai dari patah hati karena dosen yang cantik itu ternyata istri dari dosen idaman para maba pencinta cogan, sampai gimana soal statistik bener-bener berpotensi membunuh. Nggak cukup sampe disitu, juga ada yang namanya digantungi dosen killer karena dosen itu lagi sakit.

Asli parah. Sakitnya lebih-lebih ngalahin digantungi sama doi. Ya nggak tau juga si. Soalnya dari soal statistik cuma empat nomor yang ngerjain butuh waktu hampir sehari, batal tidur siang karena nunggu dosen yang akhirnya nggak ada kelas jelas bikin mood ku swing ehe. Tidur jadi nggak nyenyak banget. Belum lagi pembuatan video presentasi yang nggak semudah itu. Aku sendiri bingung. Ini karena aku sekitar hampir setengah tahun nggak mikir jadi langsung kaget atau emang kuliah nggak seindah cerita di Wattpad, sih?

Lalu semuanya berlanjut pada bagaimana antusiasnya aku mengikuti mata kuliah filsafat. Aku jadi bisa dengan mudahnya memperdalam apa yang udah aku dengar dan baca. Bisa memandang segala sesuatu dari sudut yang lain. Mendengarkan prespektif orang lain sampai pada bagaimana aku mengunggah sebuah kutipan filsafat yang kemudian kamu komentari. Katamu aku alay. Emang kamu tuh menyebalkan.

Kemudian kita berdiskusi banyak hal mengenai filsafat. Katamu, awal memperlajarinya bahasanya cukup berat. Lama-lama terbiasa. Aku yang cukup keberatan jika diharuskan membeli buku ditengah pandemi saat ini, bertanya apakah kamu mempunyai beberapa buku yang aku butuhkan. Hitung-hitung pinjam gitu sama pemilik perpustakaan mini yang songongnya minta ampun hehe.

Semuanya terasa menyenangkan. Sampai kamu bilang aku harus sabar mengingat pertemuan kita masih lama. Kamu yang menyuruhku untuk meningkatkan minat membaca lebih banyak lagi. Hingga percakapan kita berakhir.

Sudah. Sampai disitu saja. Kamu melihat postinganku tapi belum membaca pesanku. Ku pikir sibuk mengerjakan tugas atau yang lainnya. Mengingat kamu orang yang open mindset. Hingga percakapanku dengan seorang kawanmu terus berlanjut.

Aku nggak banyak berinteraksi lagi dengan kamu. Sering tertidur juga lebih lambat daripada biasanya padahal sudah mengantuk sebelum pukul 20.00. Lalu seorang kawan mengingtrupsiku untuk melihat salah satu unggahanmu. Mengenai bagaimana kegiatan dalam waktu dekat akan digelar. Aku tersenyum. Sebuah kebetulan yang patut dirayakan.

Setelah berbincang banyak dengan kawanmu yang cukup menunjukkan seseorang yang sebenarnya, aku kembali membuka percakapan. Kecewa lagi-lagi muncul karena pesanku beberapa hari lalu enggan berpindah menjadi centang biru. Ah mungkin pesanku kamu hapus. Aku tersenyum pelan.

Aku menceritakan bagaimana kawanmu menceritakan kamu hingga diskusi kita menjadi sangat panjang. Mulai dari bagaimana kamu kembali mengingatkanku untuk membaca. Membuat anggapan serta pandangan sampai aku lupa bahwa waktu itu adalah malam minggu. Malam yang seharusnya kugunakan untuk menuliskanmu. Ah, tak apa.

Aku berpikir mungkin kemarin adalah waktu yang tepat. Karena kita seringkali lupa ada hal sederhana kan? Apalagi jika telah bersama orang yang telah didamba. Apa-apaan, nih? Tentu ini bentuk dari rasa kagum. Sudah lama kita tidak berdiskusi hingga larut malam. Dan kemarin, segalanya dimulai kembali.

Aku hampir lupa bagaimana eksistensimu sebagai seorang kahim. Aku membalas pesan penuh menyebalkan yang kamu tulis, kurang lebih seperti ini:

Mau ketawa tapi takut dosa.

Pesan itu aku balas sehari setelahnya. Lalu aku bertanya perihal mata kuliah yang susah. Soalnya apa ya, kan aku masih mahasiswa baru. Sekali-kali ngetes otak kamu lagi. Eh emang dasarnya orang pinter sekaligus kahim, ya bahasanya terstruktur banget gitu kan. Kamu menjelaskan dengan sabar. Padahal kalo dipikir-pikir beberapa kating udah aku tanyain tentang paradigma bahkan yang satu jurusan pun pusing semua.

Emang kamunya idaman mas. Muehe. Kamu menjelaskan dengan mudah. Menyuruhku untuk menjawab dua topik selanjutnya. Emang dasarnya otakmu malas mikir ya aku tanya ke kating lagi. Maksa. Harus ada jawabannya mueheh. Sampai kamu mengatakan apakah itu sesulit itu? Menurutmu nggak. Katamu karena banyak membaca. Lagi-lagi menyuruhku untuk membaca sebelum kamu melanjutkannya.

Udahlah, sampe situ dulu. Kamu nggak menyebalkan cuma dalam waktu satu jam. Selebihnya ya bikin orang emosi lagi. Tapi bisa berpotensi bikin jatuh hati. Sudah dulu ya, ini cukup panjang. Takut kamu nggak mengerti. Selamat malam.

Dari aku yang lambat untuk bercerita tentang kamu hingga hari ini.

Elokvitaloka
Published on October 5, 2020

Yang lagi banyak tugas nggak jelas, semangat ya kahim! Xixi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang lagi banyak tugas nggak jelas, semangat ya kahim! Xixi

KATA KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang