Kita memang tidak bisa memilih harus menjadi siapa ketika lahir, berada di keluarga bagaimana dan mempunyai saudara seperti apa. Tapi bukankah Tuhan sudah merencanakan semuanya dengan baik bahkan sebelum kita lahir?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejak Devano tahu dimana Yoana tinggal setelah pergi dari rumah, lelaki itu selalu menyempatkan datang ke Apartemen Yuri sepulang bekerja dengan alasan ia ingin ditemani makan karena katanya di rumah pasti tidak ada makanan dan itu katanya disebabkan oleh Yoana yang tidak pernah lagi memasak di sana. Tentu saja Yoana merasa senang, karena ia merasa Devano menjadi lebih dekat dan terbuka dengannya dibandingkan saat mereka bertemu di rumahnya. Devano sering mengeluh perihal pekerjaannya yang bikin pusing atau adik-adiknya yang sudah mulai mengenal apa itu cinta, namun katanya ia tetap mencintai kedua hal tersebut, sekali lagi Yoana merasa senang karena bisa menjadi tempat Devano berkeluh kesah.
Meskipun Devano tidak pernah menyuruh dan memaksa Yoana untuk pulang dan menjalani hari-hari seperti biasanya lagi, seperti mengajar dan memasak untuknya dan adik-adiknya, tapi Yoana tidak mau membuat Devano selalu menghampirinya hanya untuk ditemani makan malam-malam, Devano juga pasti kelelahan setelah pulang bekerja.
Kemarin saat Yoana bilang padanya bahwa ia akan pulang hari ini, Devano terlihat sangat senang ia bahkan secara tidak sadar langsung memeluk Yoana. Mengingatnya saja sudah membuat Yoana sangat senang.
"Bi? Ma?" Yoana langsung masuk ke dalam rumah dan tidak menemukan siapapun di dalam.
"Wah, wah. Coba liat siapa yang datang." Seseorang keluar dari kamar Yoana.
Yoana mengernyitkan alisnya, "Siapa lo?"
"Eits gak boleh kasar gitu dong sama calon papa." Orang itu berusaha mendekati Yoana.
"PERGI!" Yoana berjalan mundur, ia melemparkan apapun yang ada didekatnya.
"Gak usah takut. Papa cuma mau meluk calon anak papa."
Yoana terus berjalan mundur tanpa melihat ke belakang sedikit pun. Tanpa sadar ia sudah mentok di depan pintu kamar kosong. Orang itu langsung mengambil kesempatan, ia membuka pintu kamar dan membawa Yoana ke dalam bersamanya.
Orang itu terus memojokkan Yoana ke dinding, "Wow. My daughter so very beautiful." Tangannya menyentuh pipi Yoana yang kemudian menjalar menuju bibirnya.
Tidak mau tinggal diam, Yoana menendang kemaluan orang itu. Ia kemudian berlari ke arah pintu namun terlambat orang itu sudah mengunci pintunya. Orang itu langsung mendorong Yoana ke kasur.
Yoana menangis ia berteriak sebisa mungkin namun tidak ada yang mendengarnya sama sekali. Saat memejamkan matanya tiba-tiba bayangan Devano muncul begitu saja. Yoana teringat ia masih membawa ponselnya di saku celana, dengan langkah cepat ia mengambil ponsel kemudian menelpon Devano, satu-satunya orang yang mungkin bisa menolongnya saat ini.
Telepon tersambung namun Devano tidak juga mengangkatnya.
Tangisan Yoana semakin menjadi saat orang itu mulai menciumi aroma tubuh Yoana di ceruk lehernya.
🌻🌻🌻
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Devano sedang fokus bekerja dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya. Wajahnya selalu seserius itu apabila sedang fokus.
Matanya masih tertuju pada komputer saat tangannya mengambil gelas di meja kerjanya dan tanpa sengaja Devano menjatuhkannya dan gelas itu langsung pecah.
Fokus Devano buyar, ia tiba-tiba merasa tidak enak hati. Ia langsung memeriksa ponselnya dan terdapat panggilan tidak terjawab dari Yoana. Aneh. Tidak biasanya Yoana menelpon di jam-jam seperti ini. Devano menelpon balik Yoana namun telepon itu langsung tersambung dengan operator.
Merasa panik dan cemas Devano langsung mengambil kunci mobilnya untuk mendatangi Yoana. Tadinya ia akan pergi ke Apartemen Yuri namun Devano ingat kemarin Yoana mengatakan bahwa hari ini ia akan pulang ke rumah.
20 menit Devano baru sampai di rumah Yoana karena terjebak macet. Ia langsung masuk karena sudah berapa kali memencet bel tapi tidak ada yang membuka pintu.
"YOANA!!" Devano berteriak-teriak memanggil Yoana karena tidak menemukan siapapun di dalam rumah.
Samar-samar ia mendengar suara tangisan dari kamar. Ia mengetuk dan mencoba membuka pintu namun kamarnya itu di kunci. Yakin ada sesuatu di dalam sana Devano langsung mendobrak pintu. Dan benar saja apa yang baru saja Devano lihat membuat emosinya langsung memuncak.
Devano langsung mendorong orang itu dan langsung merangkul Yoana, "Kamu gak apa-apa?"
Yoana menggeleng tangisannya semakin menjadi saat melihat Devano.
Tiba-tiba orang itu bertepuk tangan, "Anak papa ternyata udah punya pacar yaa. Tapi gimana ya? Kayaknya nanti kamu bakal banyak waktunya sama papa."
Tanpa berpikir panjang Devano langsung memukuli orang itu, sedangkan Yoana menangis masih syok dengan apa yang terjadi.
Orang itu tidak melakukan perlawanan sama sekali. Membuat Devano mengernyitkan alisnya heran.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN??!"
Dania, Mama Yoana tiba-tiba datang dan melihat situasi sudah kacau.
Orang itu langsung berdiri dan menghampiri Dania, "Sayang, kayaknya kita gak bisa ngelanjutin pernikahan. Anak kamu benci sama aku, dia sampe bawa pacarnya buat nyingkirin aku."
Yoana membelalakan matanya tidak percaya dengan apa yang orang itu katakan.
"Ma. Dia bohong." Yoana mendekati Dania, "Dia jahat. Dia bukan lelaki baik. Dia.. dia udah ngelecehin aku Ma. Batalin pernikahannya, dia gak pantes buat mama."
Plakk.
Yoana mendapatkan tamparan dari Dania untuk kedua kalinya.
"CUKUP! Apa segitu sulitnya kamu ngebiarin mama bahagia? Selama ini mama udah capek nanggung semuanya sendiri. Apa yang baru saja keluar dari mulut kamu itu gak pantes kamu ucapin ke orang yang udah banyak bantuin mama selama ini, sedangkan kamu sendiri gak pernah mau bantuin mama sama sekali." Ucap Dania sambil menangis.
"Sudah sayang sudah, anak kamu hanya perlu waktu." Orang itu merangkul dan menenangkan Dania.
"Pergi! Mama gak mau liat kamu lagi."
"Ma.."
"Apa kamu tau kalo setelah papa kamu meninggal perusahaan kita mulai krisis? Apa kamu tau gimana perjuangan mama mempertahankan perusahaan? Apa kamu pernah mau bantu mama? Kamu udah gak pernah peduli sama mama. Sekarang kamu juga gak mau liat mama bahagia?"
"Bukan gitu ma, aku juga pengen liat mama bahagia. Tapi bukan dengan orang ini, dia gak pantes buat mama."
"PERGI! Mulai sekarang kamu bukan anak mama lagi. Terserah bagaimana hidup kamu, mama udah gak peduli."
Yoana menatap Dania penuh dengan kesedihan, air matanya berurai begitu saja. Ia kecewa karena Mama lebih mempercayai orang itu daripada anaknya sendiri namun di sisi lain ia juga kecewa pada dirinya sendiri karena selama ini tidak pernah menyadari bahwa Mamanya itu menderita dan butuh kebahagiaan.
Dengan langkah berat Yoana keluar diikuti Devano dari rumah itu. Rumah yang pernah menjadi saksi bagaimana dulu keluarga ini sangat bahagia, rumah yang menjadi tempat penuh kenangan bersama mendiang papanya, rumah yang pernah menjadi saksi bagaimana dulu Yoana dan mama sering menghabiskan waktu bersama.
Tiba-tiba saja sekelibat kenangan indah bersama mama dan juga papanya dulu terputar begitu saja bagaikan sebuah film. Yoana menggigit bibir bawahnya dengan kencang untuk menahan sakit yang kini ia rasakan.