Kita memang tidak bisa memilih harus menjadi siapa ketika lahir, berada di keluarga bagaimana dan mempunyai saudara seperti apa. Tapi bukankah Tuhan sudah merencanakan semuanya dengan baik bahkan sebelum kita lahir?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Devano terkejut melihat keadaan rumah yang sangat kacau, barang-barang sudah pecah berserakan di lantai. Rahang Devano mengeras ketika melihat genangan darah di dekat dapur, pikirannya langsung melayang. Raut wajahnya panik dipenuhi kecemasan. Tangannya yang gemetar terulur untuk mencari ponselnya dan menelpon Jeno, namun mencoba beberapa kali pun hanya suara operator yang terdengar. Tidak mau menyerah, Devano mencoba menelpon Juna dan Echan yang justru semakin membuatnya semakin kalut akan kepanikan karena tidak ada yang menjawab. Untunglah saat menelpon Nana teleponnya tersambung.
"Jeno! Jeno dimana? Dia kenapa? Kenapa rumah-?" Devano bertanya dengan nafas yang memburu.
"Kak tenang dulu, mening kakak kesini langsung aja dulu. Aku sharelocya."
Devano memutuskan panggilan sepihak, ia langsung menyetir mobilnya untuk mendatangi lokasi yang Nana kirimkan.
Nana menghela nafas, Devano pasti akan selalu begitu jika sudah mengenai Jeno. Dulu saja waktu Jeno hanya terjatuh dari sepeda, kakaknya itu memaksa untuk membawanya ke rumah sakit padahal Jeno hanya lecet. Nana hendak menelpon kedua temannya untuk memberi tahu apa yang terjadi pada Jeno, namun saat itu ia dikejutkan oleh erangan kecil dari Jeno yang sedang berbaring lemas dengan infus di tangannya.
"Udah bangun lo?"
"Na.. Kucing gue? Jojo dia dimana? Dia gak apa-apa kan?"
Nana memutar bola matanya malas, yang satu khawatir berlebih tentang adiknya, yang di khawatirkan justru malah lebih mengkhawatirkan kucingnya saat keadaannya sedang begini.
"Na jawab!"
"Dia ada di rumah gue elah, sempet-sempetnya nanyain kucing!"
Jeno menghela nafas lega, "Lo gak ngasih tau kak Devano kan? Jangan dulu ya, dia lagi banyak kerjaan gue gak mau bikin dia khawatir."
Pertanyaan Jeno membuat nafas Nana tersekat, ia meneguk salivanya.
"Kalo lo ngasih tau kak Devano, gue gak bakal ngasih lo contekan lagi!"
Namun takdir sedang tidak berpihak pada Nana, karena tidak lama Devano datang dengan terburu-buru dan raut wajah penuh kecemasan. Jeno melototi Nana.
Devano langsung memeluk adiknya itu, ia mengeratkan pelukannya dan menumpahkan segala kecemasannya. Jeno mengelus punggung kakaknya pelan untuk membuat nafasnya lebih teratur, "Kak, Jeno gak apa-apa."
Namun entah kenapa ucapan Jeno itu justru membuatnya semakin bersalah. Devano melepaskan pelukannya, ia menatap Jeno dengan raut yang masih dipenuhi rasa khawatir.
"Nayaka, kamu bisa jelasin semuanya?" Ia menatap Nana meminta penjelasan.
Jeno menyuruh Devano untuk tenang lebih dulu dan kemudian menjelaskan apa yang terjadi. Katanya saat Jeno pulang sekolah ia tidak bisa masuk ke rumah karena pintu rumah di kunci. Merasa ada yang aneh, Jeno masuk ke rumah melalui pintu belakang dan ia terkejut saat melihat 2 perampok yang sedang berusaha mengambil barang berharga dirumahnya. Jeno mendekati bibi yang berdiri di dekat dapur diam-diam namun perampok itu menyadarinya dan langsung merasa terancam. Perampok yang panik itu tiba-tiba menusuk perut Jeno setelahnya Jeno tidak ingat apapun, karena setelah terdengar bunyi tembakan Jeno merasa dirinya sudah tertembak padahal itu merupakan tembakan polisi dari luar. Nana yang memanggilnya, saat melihat kondisi rumah seperti itu diam-diam Jeno mengirimkan pesan singkat yang menyuruh Nana untuk memanggil polisi ke rumahnya. Dan tanpa bertanya lebih lanjut Nana langsung melakukannya. Untunglah polisi datang sebelum para perampok itu kabur.