31. Pengakuan

1K 88 5
                                    

Waktu terasa cepat berlalu, kini usia kandungan Elmira menginjak sembilan bulan. Sudah saatnya buah hatinya lahir ke dunia. Aktifitas kuliahnya pun sudah ia hentikan satu bulan yang lalu.

Elmira duduk di taman bersama dengan Delia. Menikmati secangkir teh dan kue di bawah pohon beringin besar sehingga terasa begitu rindang. Hubungan keduanya semakin dekat karena Elmira merasa nyaman dengan karakter Delia yang keibuan dan sikapnya yang selalu baik dengan Elmira. Tak seperti Andini yang selalu mengibarkan bendera perang padanya.

"Hanya berada di rumah sepanjang hari ternyata membuat bosan ya," ucap Elmira.

"Yaaa begitulah. Itu sebabnya aku sering mengajak Sabrina bermain atau menemani ibu di kamar beliau," sahut Delia.

"Aku ... hubunganku dengan beliau kurang baik, jadi aku tak bisa sepertimu yang bisa berbincang dengan beliau. Entah aku juga tak tahu tapi sepertinya beliau kurang menyukaiku. Mungkin karena latar belakangku yang berbeda dengan kau dan Andini. Aku bukanlah menantu yang diharapkan Ibu." Ucap Elmira yang sesekali mengusap-usap perutnya yang membuncit dan hal itu tak luput dari perhatian Delia.

"Itu hanya perasaanmu saja. Mungkin kau harus lebih mendekatkan diri lagi pada Ibu," sahut Delia.

"Yang kulihat sekarang ini kau telah berhasil menggeser posisi Andini sebagai menantu kesayangan Ibu." Ucap Elmira sambil tersenyum pada Delia.

"Entahlah ... mungkin karena Ibu sudah mulai merasa jengah dengan sikap Andini." Sahut Delia membuat Elmira menyerngit.

"Sikap Andini?" tanya Elmira yang tak mengerti maksud Delia.

"Aku pun juga tidak tahu, tapi menurutku dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Dia bahkan mengabaikan putrinya," ucap Delia.

"Kasihan sekali Sabrina, padahal dia gadis kecil yang pintar dan menggemaskan," ucap Elmira.

"Iya," sahut Delia.

"Tapi sayangnya ibunya adalah yang wanita licik," cetus Elmira.

"Apa?" Delia melotot ke arah Elmira.

"Dia sering menggunakan putrinya untuk menarik simpati dari Reksa." Ucap Elmira sambil menerawang mengingat tingkah Andini.

Wajah Delia berubah sendu, mengingat hubungannya dengan Juragan Reksa. Ia menatap ke arah Elmira. Ia sudah menganggap Elmira sebagai adiknya sendiri. Haruskah ia berterus terang pada Elmira ataukah ia harus tetap bungkam. Hatinya diserang rasa dilema, tapi mau bagaimanapun resikonya, ia harus tetap bicara pada wanita di depannya ini agar semuanya tak perlu lagi ditutupi.

"Elmira ...."

"Hemm?" Elmira menengok ke arah Delia.

"Ada apa?" Tanya Elmira ketika mendapati raut wajah Delia yang kini berubah serius.

"Aku ingin berterus terang padamu setelah sekian lama aku bungkam. Kebungkamanku malah membuatku merasa tak nyaman. Terlebih kau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri," ucap Delia.

"Kau ... kenapa berbicara seperti itu." Ucap Elmira yang heran karena perkataan Delia yang dari tadi hanya berputar-putar.

"Bicaralah, tak perlu risau seperti ini," sambung Elmira.

"Tapi aku takut kau marah padaku dan menjauhiku," sahut Delia dengan raut muka cemas.

"Katakanlah," ucap Elmira meyakinkan Delia.

Delia menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskannya perlahan sembari mulai merangkai kata yang tepat untuk menyampaikan kerisauan hatinya pada Elmira.
"Hubunganku dengan Juragan Reksa sudah mulai membaik beberapa bulan belakangan ini." Ucap Delia membuat Elmira menghentikan elusan pada perutnya.

"Maafkan aku, El." Ucap Delia tulus lalu menggenggam tangan Elmira yang ada di atas pahanya.

Elmira menatap Delia dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Mendengar pernyataan Delia membuat jatungnya berdetak lebih cepat.
"Apa yang harus aku maafkan. Kenapa kau meminta maaf padaku?" tanya Elmira kenatap manik mata Delia.

"Aku ... aku merasa seperti peselingkuh. Kau mengetahui fakta jika Juragan telah mengabaikanku selama berbulan-bulan. Tapi aku tak mengatakan padamu jika empat bulan belakangan ini hubunganku dengan Juragan sudah membaik. Bahkan Juragan juga sering mendatangiku di kamarku saat kau sudah terlelap di malam hari," ucap Delia.

Elmira tercengang mendengar fakta yang terucap dari bibir Delia.

"Aku tak berniat menutupi ini semua, tapi Juragan melarangku. Dia tak ingin membuatmu terluka karena kau adalah satu-satunya wanita yang Juragan cintai," sambung Delia.

"Jadi sudah sejauh itu ...." Gumam Elmira dengan tawa getirnya. Sudah selama itu, dan dirinya tak mengetahui apa pun.

Delia menunduk, rasa bersalah menyeruak memenuhi dadanya. Seharusnya ia tak perlu bersikap berlebihan seperti ini mengingat dirinyalah yang lebih dulu masuk dikehidupan Reksa dan menjadi selir. Tapi tetap saja ia merasa bersalah karena Reksa kembali mendatanginya secara diam-diam tanpa diketahui seorang pun.

"Kau tak perlu meminta maaf padaku. Bukankah kau lah yang terlebih dulu menjadi istri Reksa." Ucap Elmira sambil menggenggam tangan Delia.

Delia terperangah. "Kau tak marah padaku?!"

"Untuk apa aku marah." Sahut Elmira dengan senyumnya yang mengembang.

"Tapi setahuku kau tak mau berbagi perihal Juragan ...."

"Iya ... bukan hanya aku yang tak mau berbagi. Kurasa kau pun juga begitu," ucap Elmira memotong pembicaraan Delia.

"Tapi aku tak punya kuasa. Berbeda denganmu yang sepenuhnya menguasai pikiran dan hati Juragan. Aku tak ingin tamak. Mendapat sedikit perhatian dari Juragan saja aku sudah sangat bersyukur. Tadinya aku malah berpikir jika Juragan akan segera menceraikanku," sahut Delia.

"Kau tak suka jika Andini meraih simpatik dari Juragan lalu kupikir kau juga tak menyukaiku jika aku dan Juragan kembali memperbaiki hubungan. Aku tak mau hubungan baik kita selesai karena hal ini," kata Delia.

"Kau dan Andini tentu berbeda. Aku tahu kau memiliki hati yang tulus padaku." Sahut Elmira dengan bibirnya yang mengembang membentuk sebuah senyuman.

Delia tersenyum lega. "Terima kasih, El." Ucap Delia lalu memeluk tubuh Elmira.

Elmira dan Delia sama-sama tersenyum dalam pelukan. Delia sudah merasa lega karena tak ada yang perlu ia sembunyikan lagi dari Elmira.

***

Andini tersenyum masam saat tak sengaja dirinya melihat Delia dan Elmira berpelukan di taman.

"Ada apa dengan mereka?!" Seru Andini yang berdiri di teras yang berada di lantai dua.

"Menggelikan sekali. Aku tak habis pikir kenapa Delia sebodoh itu mau berpihak pada perempuan desa yang serakah itu," ucap Andini.

"Serakah?!" tanya Margi yang merasa bingung dengan ucapan majikannya ini.

"Tentu saja serakah. Perempuan itu ingin menguasai Juragan seorang diri. Dan tentunya dia juga ingin menjadi nyonya besar di rumah ini," sahut Andini.

"Bukankah itu sifat Anda, Nona?" Tanya Margi yang tak mengerti dengan keadaan yang sedang terjadi sekarang ini.

"Lancang!!" Seru Andini mendelik pada pelayannya.

Margi melotot mendengar seruan dari nona majikannya ini. Ia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya lalu menunduk tak berani menatap tatapan mata nona majikannya yang seakan ingin mengulitinya hidup-hidup.

"Sepertinya aku harus mengganti pelayan yang lebih pandai menjaga mulutnya!" Seru Andini sambil berjalan menuju kamarnya.

Margi mendelik mendengar ucapan Andini. "Jangan Nona, saya mohon ...." Sahut Margi meminta belas kasih dari nona majikannya ini.

"Saya berjanji tidak lagi berbuat bodoh." Ucap Margi sungguh-sungguh sambil bersimpuh dan memegang tangan Andini.

"Dasar!" desis Andini membuang muka.

***

26 Agustus 2020
-Silvia Dhaka-

Repost 19 Juli 2021

Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang