89. Salah pilih menantu

920 85 2
                                    

Reksa keluar dari ruang kerjanya bersama Delia yang terus saja menyunggingkan sebuah senyuman puas di bibirnya.
Tanpa sepatah kata pun Reksa berjalan keluar rumah. Sampai di teras, ia tak melihat Haris ada di mana pun. Sedangkan Delia sudah berjalan menuju kamarnya setelah berpamitan kepada Reksa.
"Di mana Haris?" gumam Reksa. Matanya melihat kesekeliling tapi tak juga menemukan Haris.
Seorang supir berlari menghampiri Reksa, ia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk menghormati majikannya itu.
"Di mana Haris?" tanya Reksa pada supir itu.
"Saya kurang tahu, Juragan. Akan saya carikan."
Reksa tampak berpikir sebentar, "tidak perlu, biarkan saja. Aku akan pergi ke kantor setelah Haris muncul. Kau boleh pergi," ucap Reksa.
"Ah, kau bisa mintakan kopi untukku kepada seorang pelayan di dapur," imbuh Reksa.
"Baik, Juragan." Supir itu pun pergi menuju dapur.
Tak lama kemudian seorang pelayan datang untuk menyuguhkan secangkir kopi kepada Reksa yang sedang duduk santai di sofa.
Reksa memutuskan untuk duduk di sofa yang berada di ruang tamu sembari menikmati kopinya.
Beberapa saat kemudian, terdengar siulan dari seseorang yang terdengar semakin mendekat. Reksa menoleh ke asal suara, ia memperhatikan, ternyata Harislah yang tengah bersiul sembari berjalan keluar rumah.
"Juragan?!" seru Haris terkejut saat melihat Reksa menatapnya dengan pandangan yang sulit ia artikan. Ia langsung menghentikan siulannya.
"Nampaknya kau sedang senang, bukan begitu?" sindir Reksa.
Haris menunduk dan berdiri tegap menghadap Reksa yang masih saja duduk santai di sofa sembari kembali menikmati kopinya.
"Apa aku harus menunggumu dahulu barulah aku bisa pergi ke kantor?" Reksa memicing ke arah Haris.
"Maafkan saya, Juragan. Saya pikir Anda akan lama berada di dalam sana," sahut Haris.
"Cepatlah berangkat, Juragan Haris." Ucap Reksa lalu berjalan mendahului Haris yang masih tertunduk.
"Saya kira Anda tidak akan pergi ke kantor, Juragan." Ucap Haris saat ia dan Reksa sudah berada di dalam mobil.
"Apa maksudmu?"
Haris berdeham untuk menormalkan suaranya, "saya tadi tidak sengaja mendengar suatu suara yang merdu yang berasal dari dalam ruang kerja Anda, Juragan. Untuk itu saya berpikir bahwa Anda tidak akan berangkat ke kantor, mungkin saja Anda lelah?" Gumam Haris sembari tersenyum penuh arti. Ia melihat raut wajah Reksa melewati kaca spion.
Reksa mendengus sebal, "aku tak sanggup menggajimu jika pekerjaanmu sekarang menjadi berlipat seperti itu. Sekarang kau tidak hanya menjadi asistenku, tapi kau juga menjadi mata-mata dan penguping," desis Reksa.
"Saya hanya kebetulan mendengar, Juragan," sahut Haris.
"Sudah, diamlah saja. Rupanya aku harus cepat-cepat mencarikanmu seorang istri agar kau tahu rasa!" dengus Reksa.
Haris terkekeh mendengar ucapan Reksa.
"Kau tertawa?!" seru Reksa mendelik menatap Haris. Haris berbalik menatapnya lewat kaca spion.
"Saya pikir menikah adalah hal yang sangat menyenangkan. Bukankah begitu, Juragan?!" ucap Haris.
"Apa maksudmu?!"
"Maaf jika saya lancang, tapi menurut pemikiran saya menikah adalah hal yang menyenangkan. Buktinya Anda sampai memilki tiga orang istri," ucap Haris.
"Kau kupecat!" seru Reksa.
***
"Ada apa Rose, sepertinya kau sedang merasa senang?" tanya Yasinta pada putrinya yang dari tadi ia perhatikan selalu tersenyum.
"Tidak Ibu, aku hanya sedang memikirkan para menantu kesayangan Ibu," ucap Rose.
"Menantu kesayangan Ibu?" gumam Yasinta.
Rose tersenyum pada Yasinta, "bukankah Ibu sangat menyayangi Andini dan Delia? Terlebih Andini. Aku tahu dari dulu jika Ibu sangat menyayangi Andini," ucap Rose.
"Apa yang kau katakan, Rose. Itu tidak benar," sanggah Yasinta.
"Ibu, aku mengenal Ibuku lebih dari siapapun, karena aku sangat menyayangi Ibu." Ucap Rose lalu memeluk ibunya itu.
"Seandainya saja dulu Ibu tidak memaksa adikku untuk menikahi mereka, pasti sekarang ini dia sudah bahagia bersama Elmira dan juga Shaka," gumam Rose.
"Apa kau menyalahkan ibu tentang takdir buruk yang sekarang ini sedang menimpa adikmu, Rose?" Yasinta menyerngit menatap putrinya.
"Tidak Ibu, aku hanya sedang berandai-andai."
"Ucapanmu telah membuat ibu sedih," lirih Yasinta.
"Dulu memang hanya kau yang menentang perjodohan adikmu dengan para wanita pilihan ibu. Tapi dulu mereka membuat ibu terpikat dengan tutur kata sopan santu, tingkah anggun serta kecerdasan dan latar belakang pendidikan dan keluarga mereka berdua yang hampir sepadan dengan keluarga kita. Ibumu ini hanya ingin mendapatkan seseorang yang tepat, yang bisa mendampingi putra kesayangan ibu," ucap Yasinta.
"Maafkan aku, Ibu. Aku sudah membuat Ibu sedih dengan mengungkit masa lalu," ucap Rose.
"Apa menurutmu ibu sudah salah memilih menantu?" tanya Yasinta.
"Tidak Ibu, Ibu tidak salah memilih. Hanya saja kurasa mereka sudah dikuasai oleh rasa tamak dan iri hingga mereka bisa menjadi orang seperti sekarang ini. Kepribadian mereka berubah mungkin karena mereka selalu bersaing untuk mendapatkan posisi tertinggi di hidup adikku," ucap Rose.
"Ibu rasa juga begitu, Nak," sambung Yasinta.
"Tapi aku juga sangat berterima kasih kepada Ibu dan Ayah. Berkat Ibu menjodohkan aku dengan Malik, aku bisa memiliki kehidupan yang bahagia seperti ini. Seandainya dulu aku membangkang keputusan Ibu dan Ayah dan tetap kekeh pada pemikiranku, entahlah ... sudah jadi apa aku ini sekarang," ucap Rose.
"Ah ... Putriku ...." Gumam Yasinta lalu meraih Rose ke dalam pelukannya. Rose pun tersenyum dalam dekapan hangat ibunya.
"Kurasa Kemarin Andini dan Delia merasa cemas saat suami mereka tak kunjung pulang ke rumah," ucap Rose.
"Ya, ibu rasa juga begitu, Nak."
"Mungkinkah mereka berdua kembali bertengakar?" tanya Rose.
"Setiap saat selalu ada alasan untuk mereka bertengkar," sahut Yasinta.
"Seharusnya Reksa memberitahu mereka jika ia menginap di sini lalu pergi bersama-sama dengan kita di perkebunan."
Rose kembali tertawa, "biarkan saja, Ibu. Kuharap anak-anak mereka tak menuruni sifat buruk ibu mereka. Jika hal itu terjadi, aku sungguh menyayangkannya," ucap Rose.
"Semoga saja. Tapi sepertinya buah jatuh tak jauh dari pohonnya, bukan?!" timpal Yasinta.
"Iya, Ibu benar."
"Baiklah, lebih baik kita hentikan saja pembahasan tentang rumah tangga mereka. Sudah waktunya jam makan siang, Ibu. Mari kita menuju ruang makan. Menu makan siang kita kali ini adalah menu kesukaan Ibu. Aku yang meminta koki menyiapkannya."
"Ah kau sangat pengertian pada ibumu ini, Nak. Lama-lama ibu bisa tak mau pergi meninggalkan tempat ini," ucap Yasinta.
"Maka tinggalah di sini bersama kami, Ibu. Aku dan Malik akan sangat senang jika Ibu mau tingal di sini, terlebih Ara."
"Ibu tak ingin rumah peninggalan ayahmu hancur gara-gara ibu tinggal di sini. Para menantuku itu pasti akan menghancurkan rumahku." Gumam Yasinta sembari tersenyum.
***

Bersambung

Semarang, 30 Agustus 2021

         Silvia Dhaka

Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang