ketika hati harus memilih

321 45 1
                                    

Malam ini rencananya Hafidz akan datang ke rumah bersama dengan keluarganya. Sudah sejak sore aku gelisah. Bingung? tentu saja. Apa yang harus aku jawab nanti aku tak tau, benar-benar tidak tau. Rasanya aku masih terlalu muda, dan lagi Hafidz kenapa sampai se nekat itu.

"Mas, kayaknya aku gak bisa. Aku udah anggap kamu sama seperti mas Hanan. Lagian ini juga terlalu cepat."

"Apanya yang gak bisa na, bukanya lebih baik kalau seperti itu? Lebih baik juga karena kita udah kenal dekat. Jadi gak ada yang perlu di khawatirkan."

Dan saat itu, aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan mas Hafidz. Bingung ingin apa, tapi bagaimana lagi, lantas dia berkata

"Akhir pekan ini mas mau datang ke rumah. Nanti mas juga akan bilang ke Abi. Mas akan minta restu sama Abi. Jalani dulu na, insyaallah...

Dan hari itu adalah saat ini, sejak tadi sore semua sudah bersiap dengan sederhana. Persiapan menunggu kedatangan Hafidz ke rumah, semuanya tampak bahagia, kecuali aku. Hati, pikiran, sampai yang aku perbuat saat ini pun sangat sulit dan sangat tak bisa dipersatukan. Segalanya, menjadi semakin sulit.

Sampai umi yang sudah ada di kamarku saat ini pun aku tak tau "sayang, apa ada yang masih kamu pikirkan?"

"Eh umi, gatau mi hati Hana rasanya belum bisa tenang aja. Apa iya ini yang terbaik. Jujur mi Hana bingung. Hana sayang sama Hafidz, tapi rasanya hanya sebagai Abang."

"Hafidz itu baik, kamu pasti bisa bahagia sama dia. Kamu udah sayang sama dia, perlahan pasti bisa na. Toh udah saling sayang juga kan?"

"Mi, rasa sayangnya itu beda. Gak bisa berubah jadi cinta."

"Hmmm, apa kamu tau Umi sama Abi dulu gimana? Tali yaudah lah, itu kisah masalalu. Sekarang semuanya sudah berubah, semuanya udah baik-baik aja."

"Maksud Umi?"

"Gak semua sesuatu yang dipaksakan itu hasilnya gak baik. Asal kita ikhlas menjalani, dan yang paling penting, jika kita udah memiliki satu hal, jangan pernah kita pikirkan hal lain."

"Maksudnya Mi?"

"Kalo misalnya kamu menikah sama Hafidz, kamu harus fokus sama Hafidz. Jangan pikirkan yang lain. Entah itu orang lain yang dulu pernah kamu suka, atau orang yang suka sama kamu. Jangan pernah membuka peluang untuk orang ketiga. Karena itu salah satu alasan untuk hancurnya suatu hubungan. Dan kalian harus saling jujur dan saling percaya. Bina itu dari awal agar semuanya tetap baik-baik saja sampai akhir."

Mendengar ucapan Umi itu, aku tak mampu menahan lagi. Air mata ini luruh seketika. Aku langsung memeluk Umi. Tersedu di pangkuannya.

Sambil mengelus kepalaku, Umi berkata "Umi tau, masa depan kamu masih panjang. Kamu masih muda. Tapi menikah bukan menghambat itu semua. Bicarakan baik-baik dengan Hafidz. Umi tak mau memaksa, karena kamu pasti tau yang terbaik buat kamu. Na, kesempatan tak pernah datang dua kali. Hafidz itu pria yang baik. Kita juga kan sudah lama mengenal dia dan keluarganya."

Apa aku harus menerima?

Cinta tak bisa di paksakan. Tapi katanya, cinta bisa hadir dengan sendirinya karena kita terbiasa bersama. Apa iya harus dicoba? Tapi pernikahan bukanlah hal yang bisa di coba-coba. Itu adalah sesuatu hal uang yang sakral. Dan aku hanya ingin sekali seumur hidupku dengan orang yang benar-benar aku inginkan.

Pacaran setelah menikah itu justru indah, semuanya bernilai ibadah. ya Allah, bagaimana aku mengartikan itu semua. Hans, apa iya aku mengharapkan lelaki itu. Sekarang kita sudah seiman, apa lagi yang harus aku pikirkan? Apa yang harus aku lakukan sekarang. Berharap dengan manusia? Huh ternyata memang semenyakitkan itu.

Mungkin harus ku terima saja permintaan Hafidz. Setidaknya benar kata Umi, aku tak akan merasa tersakiti dengan dia. Aku tau dia sangat menyayangi aku. Bismillah, semoga apa yang aku putuskan ini bukanlah keputusan yang salah.

Selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal Hans..

...
...

Hola, lanjut gak nih?

@ nurhidayah202

Follow Ig.👆

Kutunggu Hijrah Subuhmu (TERBIT)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang