Malam itu Hana gelisah tak seperti biasanya. Memang saat ini ia sedang tak enak badan, tapi seperti ada yang aneh dalam dirinya. Perasaanya tak karuan sekarang. Seperti aka nada sesuatu hal yang terjadi, tapi tak tau apa. Lalu tak lama setelah itu masuk Hanan dengan wajah panic menghampirinya di kamar.
"Na, ada sesuatu yang harus kamu tau." Hanan berkata seperti sedang di kejar-kejar rentenir. Bahkan nagasnya saja terdengar tak teratur seperti orang baru saja lari maraton.
"Kenapa sih? Ada apa, ngomongnya gitu amat. Pelan-pelan emang gak bisa apa? Bikin orang penasaran aja." Baru kali ini rasanya Hana melihat sodara kembarnya itu sangat panic seperti ini.
"Kamu gak kenapa-napa kan? Kamu udah sehat? Mendingan kita turun aja sekarang deh. Kamu di panggil Abi di bawah." Tampaknya ia tak ingin membuat Hana syok sekarang, jadinya ia memilih menunda memberi informasi itu. Karena itu sudah pasti akan membuat Hana kaget atau bahkan bisa menggangu kondisinya saat ini yang sedang tidak stabil.
"Emang ada apaan sih? Lagian aku cuman demam gini. Bilang aja lah," Hana justru semakin penasaran karena Hanan tak segera memberitau informasi itu.
"Bukannya gitu, tapi... ah udah lah. Aku bingung harus ngomongnya gimana. Mendingan kita langsung turun aja ya. Abi udah nunggu kamu di bawah."
Tak menunggu waktu lama, keduannya segera turun. Dengan Hana juga yang semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Hal yang membuat sodara kembarnya itu bisa sampai segugup ini. Setelah sampai di bawah, pemandangan sudah tak mengenakan. Disana sudah ada Abi dan umi tapi mereka saling diam.
"Ini ada apa ya? Apa Hana ada salah? Kenapa semuanya jadi aneh gini." Hana yang melihat semua kondisi ini tentu saja tak mengerti dan segera menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Sebenarnya apa sih yang kamu mau? Kamu sudah menerima lamaran Hafidz, bahkan tinggal selangkah lagi menuju pernikahan kalian. Segala persiapan sudah beres semua. Apa yang kamu lakukan sebenarnya? Kenapa umi dan Hanan bilang kamu terpaksa dengan semua ini? Dengar! Abi memang sangat menginginkan kamu dengan Hafidz, tapi kamu juga tak bisa memaksakan diri kamu sendiri seperti ini kalo kamu tak bisa menjalani ini semua. Walaupun abi sedikit kecewa, abi pasti akan memaklumi itu semua. Bukan di tengah-tengah seperti ini. Kenapa Hana, kamu takut sama abi? Apa selama ini abi se-otoriter itu?" Alfa semakin frustasi dengan ini semua. Menjadi orangtua tak lah semudah yang di bayangakan. Meskipun ini bukanlah hal pertama yang ia hadapi, api rasanya hal seperti ini selalu terjadi.
"Kalian tau satu hal? Abi cuman mau anak-anak abi ini bahagai. Maaf jika sikap abi ini salah. Dari dulu rasanya abi selalu gagal. Maafkan abi Hana, lagi-lagi abi bikin anak abi kecewa." Alfa mengatakan hal seperti itu dengan penuh penekanan. Kecewa, marah, kesal, semuanya itu ia lakukan untuk dirinya sendiri. Ia selalu malu kaena gagal menyikapi anaknya.
"Bi, bukan abi yang salah. Ini salah Hana karena Hana selama ini juga gak pernah jujur. Bahkan Hana gak pernah jujur dengan diri Hana sendiri. Aha sayang sama Hafidz, tapi gak lebih dari sebatas abang. Itu udah terjadi jauh sebelum kita kenal apa itu cinta, dan itu udah gak bisa di ubah lagi. Hanya saja, Hana terlalu yakin jika perasaan itu bisa di ubah. Padahal itu nyiksa diri Hana sendiri. Maafin Hana bi, maafin Hana kalo bikin Abi kecewa." Ayah dan anak sama saja, kini Hana sekarang yang malah menyalahkan dirinya sendiri. Setelah sebelumnya abinya yang mengatakan demikian.
"Sebelum semuanya terlambat, kita sudahi saja sekarang kalau memang ini salah. Biarkan hati kamu sendiri yang memilih apa yang kamu mau. Abi sadar, abi juga pernah muda. Semuannya tak semestinya sesuai apa yang abi mau."
Hana terdiam mendengar apa yang abinya itu katakana. Tapi entah bagaimana, ia seperti merasa abinya itu justru melepas segalanya. Karena merasa apa yang selama ini dilakukanya itu salah. Jadi ia ingin berusaha tak perduli.
"Bi... jujur memang hal ini membuat Hana sedikit lega. Tapi Hana juga gak suka abi jadi bersikap acuh seperti ini. Tolong tetap jadi abi yang Hana kenal. Hana... Hana pasti akan selesaikan ini semua." Hana bangkit dari duduknya itu, menuju sang abi. Bersimpuh di sana, bagaimanapun titik kesalahan memang ada pada dirinya saat ini. Ia tak bisa berlagak tak tau dengan ini semua.
"Sayang, Hans kan? Apa dia yang membuat kamu ragu. Abi sudah kenal dia, suruh dia datang ke abi kalau memang dia. Abi ingin bicara sama dia." Satu kalimat yang dilanjutkan Abinya itu membuat ia terbelalak kaget. Bagaimana abinya tau semua ini? Bahkan ia lupa jika baru tadi pagi ia sudah memberitahu ibunya itu tentang perasaanya.
"Nanti ada saatnya Na, ada saatnya kamu akan dibersamakan dengan seseorang yang cintanya begitu besar padamu. Hatinya sangat tulus menyayangimu dan tidak ada yang lebih penting dalam hidupnya selain kamu. Namun jika kehadiranya tak membuatmu nyaman, mungkin memang ada yang lebih baik dari orang itu. Ada yang kehadiranya bahkan mampu membuat hatimu bergetar. Tak haya mebuatmu bahagia, bahkan kalian akan selalu bahagia bersama apapun keadaanya. Bukan hanya bahagiamu jika nyatanya bahagianya juga penting. Tapi ada bahagia bersama yang membuat kalian lupa akan sakitnya kepedihan itu." Entah apa maksud dari perkataan itu, seperti nasehat dengan makna tersirat.
"Maksunya bi?" Entah Hana yang masih terlalu kecil untuk memaknai kalimat itu atau kalimat itu yang memang terlalu berat untuk di maknai. Padahal Hana adalah seorang penulis, namun tampaknya kepekaanya itu memang terasa masih kurang.
"Nanti kamu akan mengerti apa yang abi maksud. Sekarang kamu lebih baik istirahat dulu. Besok Hafidz dan keluarganya akan datang. Kita bicarakan dengan baik-baik. Semoga mereka bisa mengerti dengan ini semua. Lalu setelah itu, persiapkan, jika memang benar itu Hans, segera hubungi dia untuk bertemu abi." Itulah akhirnya, karena nyatanya tak ada yang bisa dipaksakan memang. Semua itu terlalu sakral dan terlalu abadi jika hanya untuk main-main.
...
Mungkina ini terlalu sulit untuk Hana, jadi kali ini Hanan lah yang menolong permasalahan itu. Ia sengaja merekam pembahasan abinya itu untuk di kirimkan pada Hans. Agar Hans juga mengerti dan semakin mantap untuk mengambil keputusan selanjutnya.
Di lain tempat sana, Hans yang telah mendengar itu semua tentu saja tak percaya. Darimana mereka semua tau apa yang ia rasakan? Apa memang terlalu gampang di tebak oleh orang lain sikapnya itu? Dulu memang ia selalu mengganggu Hana, tapi itu dulu dan sudah lama sekali. Sekarang ia tak pernah melakukan itu lagi, sejak dulu juga ia selalu di tolak. Jadi ia tak pernah berpikir jika perasaanya ini akan terbalaskan.
Kini mungkin saatnya ia memang harus bergerak. Benar kaa Hanan, seharusnya ia bisa lebih jujur pada perasaanya sendiri dan setidaknya mengungkapan. Di samping apa jawaban balasanya nanti, setidaknya ia tak hadir dengan perasaan yang tak karuan seperti sekarang ini. Hidup memang terlau rumit jika kita terus berpikiran itu rumit, tapi akan terasa indah jika kita menjalani semuanya dengan ikhlas.
...
@ Nurhidayah202
Follow Ig author.👆
.
Vote and coment gak akan ngabisin waktu kalian kok.Selasa, 27 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Hijrah Subuhmu (TERBIT)✅
Spiritual"cerita masih lengkap* Spiritual Romance... Penuh inspirasi... Mode hijrah on... . Kewajiban laki-laki untuk sholat di masjid itu sama dengan kewajiban perempuan untuk menutup aurat. . * Saya ingin menjadi seperti Aisyah, meski tak ada lagi lelaki s...