tentang yang lain

285 39 1
                                    

(menyenangkan saat aku tau aku pernah ada dalam hatimu, dan kata pertama dalam kalimat ini menjadi tidak berarti saat aku sadar bahwa di kepalamu aku tidak pernah ada)

*M.Hafidz Al-Habibi*

...

Terkadang, yang kita inginkan memang tak semestinya bisa jadi milik kita. Hidup itu bukan hanya tentang memliki, tapi juga tentang mengikhlaskan. Sebuah kebahagiaan yang kita impikan, sebuah angan yang harapkan, semuanya kembali lagi pada yang menghendakinya. Apa iya itu semua memang di takdir kan untuk kita? Jika iya, maka kita akan beruntung. Namun jika tidak, pasti ada yang lebih baik yang telah dipersiapkan daripada itu semua.

Kali ini, Hafidz masih sibuk dengan segala urusan tentang kuliahnya. Bagi yang bilang jika kuliah kedokteran itu gampang, maka kalian salah besar. Justru memerlukan kesabaran yang extra untuk dapat menyelesaikan itu semua.

Dokter bukanlah perkara yang gampang, karena urusannya adalah nyawa manusia. Profesi yang menurut orang itu keren, tapi juga memiliki resiko yang cukup tinggi.

"Fidz, lo beneran gagal nikah sama si Hana itu? Kenapa sih? Lo belum cerita kali sama gue." Najwa, yang juga sahabat Hafidz, satu jurusan dan bisa dibilang mereka memang dekat.

"Yah namanya kalo belum jodoh itu bisa apa Wa. Gue mana bisa maksa, yang penting dia bahagia aja lah meskipun gak sama gue." Hafidz menghela napas panjang, ia harus bisa benar-benar ikhas untuk semua ini. Mungkin tak semudah yang di bayangkan, tapi bagaimanapun ia juga harus tetap berusaha.

"Aish, patah hati lo? Sejak kapan seorang Hafidz bisa seperti ini? Santai kali Fidz, kalo emang belum jodoh yam mau gimana lagi. Muka lo juga jangan gitu-gitu amat lah." Najwa tertawa renyah melihat temannya itu. Bagaimana seorang Hafidz yang ia kenal bisa seperti ini.

"Udh deh Wa, jangan ngeledek gue gitu. Ntar kalo lo yang ngerasain kaya gini baru tau rasa lo gue ledek juga." Hafidz berbicara seolah serius, namun padahal ia sama sekali tak serus mengatakan itu. Mereka berdua mana bisa jika harus seserius itu.

"Enak aja lo nyumpahin gue punya nasib sama kayak lo. Ya gak lah, lagian gue pasti bakalan mastiin kalo nantinya gak ada orang lain. Hmm, yaudah lah kenapa jadi bahas ini gini sih. Lanjutin nih laporan lo, awas gak klar nanti." Setelah mengatakan hal demikian, wanita cantik itu lantas langsung meninggalkan Hafidz di lab penelitian.

Hafidz hanya terkikik geli melihat sahabatnya yang satu itu. Ia lantas mengingat bagaimana dulu sampai mereka bisa berteman seperti ini. Hanya bermula dari sesuatu yang tidak sengaja, dan ternyata mereka sau Fakultas, satu jurusan pula meski beda kelas. Namun mereka sering dipertemukan dalam satu lab yang sama.

Pertemanan mereka berdua itu sudah sampai di titik ketika saling mengejek itu biasa saja. Ketika saling hilang mereka rindu, itu biasa saja. Bahkan ketika salah satunya susah yang satu justru tertawa, itu juga biasa saja.

Namun sepertinya, mereka lebih nyaman jadi seperti itu. Teman seperti itu, justru tak bisa saling menyakiti. Ada yang bilang jika berteman antara laki-laki dan perempuan itu katanya tidak bisa. Karena di antara salah satunya pasti bakalan melibatkan perasaan, alias jatuh cinta. Tak sedikit juga yang membantah teori itu semua, jadi sebenarnya itu semua tergantng dari yang mnjalani saja jadinya bagaimana.

Saat Hafidz tengah sibuk dengan dengan kerjaanya itu, seseorang masuk dan pastinya kaget melihat temannya itu tengah senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

"Fidz ngapain senyum-senyum sendiri seperti itu? Udah sinting gara-gara gak jadi nikah?" Kali ini adalah Hisyam, yang juga teman baiknya Hafidz.

Hafidz melirik sebentar temannya itu yang baru datang, "Apaan sih lo, enggak lah. Gue cuman lucu aja tadi abis gangguin Najwa, lo ketemu dia kan tadi sebelum masuk?"

"iya ada lah tadi di depan, dia bareng temen-temennya. Emang kenapa? Lo ya gagal nikah sekarang makin asik aja sama Najwa." Hisyam malah menggoda temannya itu sambil tanganya memulai pekerjaan seperti Hafidz.

"Elah lo tau sendiri gue sama dia itu gimana. Gak pernah aku kalo udah sama-sama. Lagian ya, kita itu temenan udah lama banget. Eh enggak juga sih ya, pokoknya dari awal kita masuk deh kayaknya. Gara-gara salah paham doang. Dia juga gak ada anggun-anggun nya sama sekali lah." Seperti layaknya pria lain, Hafidz juga ingin wanita terbaik untuk jadi calon istrinya.

Walauun begitu, sepertinya ia juga belum menyadari tentang perasaanya sendiri.

...

"Jadi ibu kamu gak masalah dengan semua ini? Kesekian kalinya pertanyaan itu kembali ia layangkan pada calon menantunya itu.

"Iya abi, kata momy tidak masalah. Semua nya sama ketika momy menerima aku." Kembali pula jawaban itu yang ia keluarkan untuk meyakinkan calon mertuanya.

Semua orang di ruangan itu tersenyum bahagia, bahkan sekarang pun ada Dhila dan suaminya yang turut mendengarkan ucapan demi ucapan yang seari tadi menjadi jawaban Hans. Akhir dari pembicaraan itu adalah, bahwa sesegera mungkin Hans akan membawa keluarganya secara resmi untuk melamar Hana.

"Dek, kamu tau sesuatu gak sih? Kalo di liat-liat ya Hans ternyata juga ganteng kok. Gak kalah la sama si Hafidz itu. Seenggaknya mereka imbnag, jadi kamu juga gak rugi-rugi amat lah. Ngelepasin dokter, dapet Hans yang udah punya butik besar itu."

"Hush kak Dhila apaan sih malah ngeracunin adiknya gitu. Gak boleh gitu, masa memandang dari hartanya sih kak." Rara uminya itu tak habis pikir mendengar perkataan anak sulungnya itu. Untung saja saat ini Hans sudah pamit pulang. Kalo tidak, nanti apa katanya.

"Hehee, maaf mi khilah Dhila." Dhila hanya menunjukan cengiran andalanya itu.

"Liatin tuh Ar, gimana sih istri kamu itu? Gak habis pikir Abi sama dia. Padahal dulu kisah dia juga gak kalah rumit sama in. pake kabur-kaburan segala lagi."

Arkan semakin mendukuung perkataan abinya dengan memojokkan istrinya itu. "Iya tu bi, gatau kenapa, tapi semenjak hamil Dhila memang jadi aneh gitu omonganya."

Dhila yang sudah terpojokan dengan omongan semua orang itu hanya mampu berkata, "Yah namanya juga ibu hamil. Efek lah itu namanya."

Semakin hari semakin terjalin kebahagiaan di sana. Satu demi satu masalah dapat terselesaikan dengan baik. Semua itu tak luput dari semua kerja sama dan kesabaran hati kita sendiri menunggu. Titik kebahagian orang itu memang beda-beda. Setidaknya, biarkan kita tetap bisa bahagai seperti ini saja. Berkumpul bersama keluarga, tak ada yang harus di cari lagi. Katanya hidup kan tentang mengikhlaskan, walau sejauh apapun takdir itu membawa kita pergi.

Kutunggu hijrah subuhmu ternyata berlabuh pada saat ini. Saat semua telah terlewati, ketika Hans sudah bisa sujud di kiblat yang sama. Ketika tak ada lagi perbedaan dengan yang mereka percayai. Benar-benar subuhnya itu telah memberi kemuliaan bukan hanya pada dirinya, tapi juga pada diri semua orang.

...

@Nurhidayah202

Follow ig author

...

Vote and coment tidak akan menghabiskan waktu kalian

Sabtu, 7 November 2020

Kutunggu Hijrah Subuhmu (TERBIT)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang