"Gimana maksud kamu? Bukannya Hana sudah akan menikah? Lalu kenapa kamu bertanya seperti itu lagi sama aku?" Hans berusaha mengalihkan pembicaraan itu. Karena ia pun bingung jika disuruh menjawab, maka ia harus menjawab apa.
"Jawab aja Hans jangan berusaha menutupi dari aku. Aku tau kok semuanya, dan kalau benar apa yang aku katakana ini, kenapa sih kamu gak jujur aja? Apapun yang terjadi, seharusnya kamu jujur dulu dengan semua ini." Hanan menjelaskan semuanya, tentang apa yang juga ia rasakan. Rasanya sudah terlalu sejauh ini, dan ia tak bisa diam lagi dengan kondisi seperti ini. Ini tentang kebaikan adiknya, maka ia harus membantu dengan segala permasalahan ini.
Lagi-lagi, Hans yang mendengar itu hanya mampu terdiam. Apa sekarang waktunya untuk jujur? "Lagian, kalo kamu udah tau yang sebenarnya kenapa kamu masih nanya sama aku? Adik kamu itu udah mau nikah sama orang lain. Itu artinya dia sudah bahagia sama orang itu. Mana mungkin juga kan orang seperti Hana bisa suka sama aku. Selama ini aku cuman berharap aja yang ketinggian." Hanan menjelaskan ini semua sesuai dengan apa yang ia rasakan.
"Sekali lagi aku bilang, seharusnya kamu jadi lagi-laki itu harus lebih berani lagi. Apa kamu tau satu hal? Kodratnya wanita itu menunggu. Mana mau mereka di suruh mengungkapkan duluan. Begitu juga Hana, dia suka sama kamu, asal kamu tau itu. Hanya saja yang ada di depan matanya itu Hafidz, yang berani bicara sama Abi itu Hafidz. Dia sadar, dia memang sayang sama Hafidz tapi hanya sebatas abang, gak lebih dari itu. Yang dia harapkan itu kamu, yang dia mau itu kamu. Hmm, akhirnya aku ngomong ini juga ya. Hans, aku cuman bisa ngomong ini. Selanjutnya terserah kamu, aku harap kamu bakalan ngambil keputusan yang pas." Setelah mengatakan itu Hanan langsung pergi. Tak ingin berlama-lama menatap kepolosan Hans itu.
Sedangkan Hans, ia hanya mampu diam seribu bahasa. Masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Hanan. Tapi ia juga berpikir, tak mungkin Hanan berbohong dengan soal seserius ini. Ini bukanlah hal yang disa dipermainkan. Kini hati dan pikirannya bekerja lebih cepat dari biasanaya. Ia tau ia harus segera memutuskan sekarang, dan jangan sampai salah pilih. Ini tentang masa depan, tentang sesuatu yang tak bisa dibuat main-main.
...
"Eh No, Hans dimana ya dari tadi gak keliatan?" Danu yang sudah habis air dua gelas itu gelisah menunggu temannya yang tak kunjung datang.
"Eh lo piker gue tau apa? Lah kita kan berduaan dari tadi di sini. Kalo mau nnaya ya Tanya lah sama orangnya langsung. Biar lebih genah gitu." Kebiasaan Kano jika ditanya tak pernah yang namanya menjawab dengan serius. Selalu ada saja kata-kata yang keluar dari mulutnya itu yang mampu mengundang tawa atau marah dari lawan bicaranya.
"Gue basa-basi kali No kaya orang-orang biasanya itu. Lo mah gitu amat sama gue. Emang kita berdua itu udah kaya kucing sama anjing ya." Ketika Danu berkata seperti itu lagi-lagi Kano menghentikan perkataan Danu.
"Elo Anjingnya."
"Lah lo kucingnya? Imutan lo dong daripada gue? Gak ah gak bisa. Gak terima, jelas-jelas gue yang lebih imut dari gue. Mana Jesica Mila itu kan calon pacar gue." Tentu saja Danu tak terima dengan apa yang Kano katakana barusan.
"Hello, harusnya lo sadar dong, dari dulu itu yang imut emang gue daripada lo. Terus apa lo bilang tadi? Jesica Mila? Sorry gak level gue. Dia itu udah mantan gue, jadi ambil aja lah." Kano tak mau kalah, terus saja menjawab apa yang dikatakan Danu.
"Hmmm, kalo sudah begini kita itu tak pernah bisa berhenti. Jadi kangen sama Hans, mana sih dia? Trio DKI gak lengkap rasanya tanpa dia." Akhirnya kali ini Danu yang mengalah dengan semua pembicaraan mereka itu. Jika tidak disudahi salah satu dari mereka ya mana mungkin akan selesai. Meski kadang-kadang mereka tak ada yang mau mengalah kalau bukan Hans yang melerai pertikaian mereka berdua.
"Iya juga sih, mana ya dia? Kan kita juga udah bilang mau ketemuan di sini. Tapi udah lebih dua jam dia gak muncul-muncul juga. Padahal dia gak biasanya telat gini." Kano menambahkan apa yang Danu katakana. Suasana mereka berdua kembali damai sesaat.
"Kita berdua gak ada yang mau inisiatif telfon dia gitu?" Begitulah serkah Danu pada Kano.
"Lo aja lah, lo juga dari tadi yang coba mau kasih tau dia. Lagian jug ague lagi gak punya kuota ni, wifi café juga tiba-tiba ganti password. Oh iya ya, belum nanya mbaknya password barunya apa. Kita kan penghuni tetap di sini, masak gak tau sih apa password barunya." Kano berkata panjang lebar mengenai password wifi yang sebelumnya selalu menempel di handphone nya itu kali ini justru menghilang.
"Hadeh, dasar miskin lo. Yaudah gue aja yang telfon Hans. Lo tanyain sana paswordnya sama mbak cantik yang jaga. Awas lo, jangan di godain mbaknya." Setelah Danu mengatakan itu tak menunggu lama Kano langsung nagcir ke mbak-mbak yang cantik itu. Sedangkan Danu? Ia langsung menelfon Hans. Tentu saja menanyakan tumben sekali ia lama seperti ini.
Namun anehnya, setelah nada sambung, handphone yang bunyi justru ada di sebelahnya. Buru-buru ia cari sumber suara, dan benar saja yang bunyi itu handpone Kano. Ternyata ia salah menelfon. "Hadeh, kirain Hans udah di sini. Ternyata handphone Kano yang bunyi alias dia salah sasaran penelfon."
Lalu selanjutnya ia kembali menelfon nomor yang tepat di bawahnya, kembali lagi dengan hal yang sama. Handphone yang bunyi justru kembali lagi ada di sekitarnya. Buru-buru ia ambil Handphone Kano dan ingin saja membanting handphone itu saat ini juga. Nmun sebelum itu terjadi, sebuah suara lebih dulu mengintruksinya untuk bersabar.
"Eits sabar dulu Dan, ngapain lo marah-mara gitu?" Tentu saja itu adalah suara yang dikenalinya, yaitu suara Hans.
"Hans? Lo bikin gue emosi aja sih. Gue kira handphone Kano lagi yang bunyi tadi. Ngeselin sumpah, gue gak pikun tapi kenapa nomor dia terus gitu yang gue hubungi." Danu lantas curhat dengan Hans di hadapanya itu.
"Eits ada apa ini? Kenapa rebut-ribut? Lagian kenapa tadi kayak handphone gue mau di banting gitu? Lo ada masalah apa Dan sama gue? Enak aja main banting-banting." Kano yang baru datang itu langsung semakinmenambah kehebohan meja mereka.
"Duh heboh amat sih, gak Kan gak gitu. Cuman salah paham aja kok tadi, duduk dulu deh duduk dulu." Hans melerai semuanya sebelum benar-benar terjadi pertikaian di situ. Ia mendudukan Kano ke bangku agar ia juga menjadi semakin tenang.
"Bentar Hans sayang, gue balik kesini mau ambil handphone aja. Tadi mau minta password wifi tapi malah lupa gak bawa ini." Kano lantas menunjukan benda pipih yang kini dibawanya itu. "buat lo Danu, urusan kita belum selesai. Tunggu nanti setelah gue balik dari minta password wifi ke mbak yang cantik itu."
Bagaimana tak botak lama-lama kepala Hans jika kedua temannya ini selalu seperti ini? Setiap bertemu selalu saja seperti ini. Ada saja hal yang membuat mereka rebut. Walaupun memang hanya ribut-ribut kecil dan memang tak pernah bertahan lama. Namun karena sudah terlalu seringnya itu, Hans sampai sudah paham dengan kebiasaan itu.
Bahkan biasaya, ia yang ingin bercerita sesuatu, harus menunggu waktu yang pas terlebih dahulu. Kalau tidak begitu, ia harus mengatur suasananya seserius mungkin. Meski terkadang, walaupun sudah dibuat serius seperti itu, tetap saja kelakuan mereka tak bisa berubah. Hans juga kadang heran, apa seperti ini yang katanya kelakuan seorang mahasiswa.
...
@ nurhidayah202
Follow Ig author.👆.
Vote atau coment gak akan ngabisin waktu kalian kok.
Selasa, 27 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Hijrah Subuhmu (TERBIT)✅
Spiritual"cerita masih lengkap* Spiritual Romance... Penuh inspirasi... Mode hijrah on... . Kewajiban laki-laki untuk sholat di masjid itu sama dengan kewajiban perempuan untuk menutup aurat. . * Saya ingin menjadi seperti Aisyah, meski tak ada lagi lelaki s...