42::Enggak Ada Hak✅

69 7 0
                                    

Aku memang tak punya hak akan dirimu, tapi bukan berarti aku tak dapat mencintaimu, 'kan?

🌻S E L A M A T  M E M B A C A🌻

Malam semakin larut, Keysha dan Arlin dipaksa beristirahat di ruangan dokter Andi, begitu pun dengan Suster Dwi. Sedangkan ketiga lelaki itu masih setia di depan ruang UGD. Sejak tadi dokter yang memeriksa Rizal dan Mira belum juga menampakkan batang hidungnya membuat mereka cemas.

Mereka larut dalam keheningan, Rio dan Fawaz yang sudah bergelut dengan alam bawah sadar mereka juga Rion yang masih setia menatap benda pipih di tangannya. Tiba-tiba saja pintu ruang UGD terbuka, menampilkan pria dan seorang wanita yang menggunakan pakaian steril. Rion bangkit dari duduknya dan menghampiri pria itu.

"Dok, gimana temen saya?" tanya Rion.

Pria gagah bernetra cokelat itu menghela napas kasar. "Bisa ikut saya ke ruangan?" tanya dokter bernametag Tio pada Rion, Rion hanya menganggukkan kepalanya dan mengikuti Dokter Tio dari belakang. Sedangkan asisten Dokter Tio pergi ke arah yang berlawanan.

Sesampainya di ruangan dokter Tio, Rion dipersilakan duduk di kursi. Mereka tenggelam bersama keheningan beberapa saat. Rion hanya menundukkan kepalanya sembari meremas jemarinya. Hingga dokter Tio berdehem keras membuat Rion mengangkat kepalanya menatap Dokter muda itu.

"Kecelakaan yang mereka alami cukup berat. Pasien wanita mengalami cedera serius pada bagian organ dalam terutama ginjal karena benturan yang sangat keras. Oleh sebab itu, pasien harus segera mendapatkan donor ginjal, jika tidak maka pasien harus menjalani cuci darah atau nyawa pasien taruhannya. Untuk pasien pria, saya mohon maaf. Saya tidak dapat memastikan kapan dia akan membuka matanya, dengan kata lain …," jeda Dokter Tio.

"Dia koma?" tebak Rion seraya menukikkan alis tebalnya.

Dokter Tio menganggukkan kepalanya. Rion mengusap wajahnya kasar, banyak kemungkinan-kemungkinan yang muncul di pikirannya. Rion memilih berpamitan pada Dokter Tio, dia membangunkan Fawaz dan Rio dari tidur lelapnya. Rion memang tak terlalu akrab dengan mereka, namun dia masih memiliki simpati untuk tidak meninggalkan mereka di sini.

"Woy, bangun lo pada. Dokternya udah keluar," sentak Rion sembari menggoyang-goyangkan bahu Rio yang tidur bersandar pada tembok.

Rio mengerjap cepat menyesuaikan cahaya yang masuk melalui retina matanya, dengan muka bantalnya Rio berdiri dari duduk seraya membenahi kaosnya yang sedikit terangkat. Dia menatap Rion yang sedang menatapnya datar. Pandangannya beralih pada Fawaz yang sedang tidur terlentang pada kursi tunggu yang panjangnya kurang dari tubuhnya hingga kakinya terlihat menggantung.

Rio tersenyum licik saat menemukan ide jahil yang berkeliaran di otaknya. Dia mendekati Fawaz yang masih menutup mata. Perlahan Rio melepas sepatunya dan mengarahkan pada muka Fawaz. Perlahan hidung Fawaz berkedut dan sesaat setelahnya mata Fawaz terbuka lebar.

"Jijik banget lo, Yo. Gue lagi mimpiin bidadari juga, ya kali bidadari bau apek."

Rio tertawa terpingkal-pingkal sedangkan Fawaz memasang wajah masamnya, Rion hanya memperhatikan mereka tanpa ekspresi.

"Ngapain bangunin gue sih? Subuh aja belom," rajuk Fawaz yang merebahkan kembali tubuhnya di kursi tunggu.

Rio memutar bola matanya jengah, dia menarik hoodie yang dikenakan Fawaz hingga membuatnya terduduk dari tidurnya. Fawaz menepis tangan Rio dengan keras dan menatapnya tajam.  "Kata dia, dokternya udah keluar." Rio menunjuk Rion yang sedang memainkan ponselnya.

"Terus mereka gimana?" tanya Fawaz penasaran.

Rion memasukkan ponselnya ke saku celananya dan menatap kedua orang bermuka bantal yang berada di depannya. "Rizal koma, Mira butuh donor ginjal."

LINIMASA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang