Part 5

3.6K 114 93
                                    

                         
Corina menyusuri lorong rumah sakit dengan lesu. Fikirannya berkecamuk. Sosok tampan Reno terus muncul dibenaknya. Silih berganti dengan wajah mamanya yang keletihan dengan penyakit yang sekian lama menggerogotinya juga wajah Mike yang mengintimidasi.

Corina menghela nafasnya dengan kasar. Dia masih dalam lamunannya ketika dari arah berlawanan dua orang perawat menyapanya ramah. Corina membalas sapaan mereka dalam nada dan mimik keterkejutannya. Yang dibalas kikikan dan godaan jahil kedua perawat itu. Dan Corina hanya membalas dengan tersenyum kikuk dan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Selama dua bulan mamanya di rawat di rumah sakit tersebut dirinya memang tidak pernah absen sehari pun menjenguk mamanya. Sehingga rata-rata perawat dan dokter di sana mengenalnya.

Corina berhenti di satu pintu diujung lorong. Hanya ada beberapa kamar di langai tersebut. Semuanya VVIP. Fasilitas kamar VVIP rumah sakit ini seperti hotel bintang 5. Dan Mike telah menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai perobatan mamanya. Berganti-ganti rumah sakit demi kesembuhan mamanya sepertinya bukan masalah bagi Mike yang kaya raya. Corina menelan ludahnya dengan gusar. Bukankah seharusnya dia tak pantas mengeluh? Karena Mike tidak pernah mengeluhkan biaya perobatan mamanya yang sangat mahal selagi Corina menurut dan menutup mulut juga matanya pada semua hal yang dia lakukan. Corina memejamkan matanya dan menyandarkan dahinya pada pintu dengan tangan kanannya memegang knop. Mengumpulkan semua semangat hidupnya yang masih tersisa untuk di pamerkan pada satu-satunya alasannya bertahan dalam kubangan derita.

Mama, di balik pintu itu kini ia berada. Terbaring lemah dengan ingatan yang semakin menurun akibat deraan meningitis tuberkulosis. Dan dia selalu percaya Corina akan bahagia dengan Mike. Corina membuang nafasnya dalam satu kali hentakan kasar lalu mendorong pintu.

"Mama ... " sapanya ceria seperti biasanya saat memasuki kamar rawat inap mamanya.

Wanita paruh baya yang sedang terkantuk-kantuk itu langsung terbelalak.

"Cori ... " tegurnya dengan senyum sumringah. "Kok lama hari ini ? Mama fikir kamu gak datang ... " ujarnya mendadak berekspresi merajuk.

Corina terkikik gemas. Lalu menyeruak masuk kedalam dekapan mamanya. Dengan senang hati mamanya memeluk dan menciumnya bertubi-tubi pada wajah dan kepalanya. Dan Corina dengan senang hati puka menyodorkan wajah dan kepalanya menjadi sasaran ciuman kangen mamanya. Tapi mendadak mamanya menarik diri. Mengamati dengan seksama perban di kepala putri tunggalnya.

" Cori ... ?! I-ini kenapa nak ... ? Kamu kenapa ?!" tanyanya panik.

Corina menyentuh perban dikepalanya, seakan baru menyadari kepalanya terluka, lalu menggedikkan bahunya dengan santai.

"Cuma luka ma,"

"Kenapa itu ... ?"

"Oh, itu, kejedot." ujarnya diiringi cengiran konyol.

"Kejedot kok sampe diperban ?! Apa itu sobek ? Kamu jatoh atau apa ? Kamu sudah ke dokter belum, hah?! Oh ... periksa di sini aja. Di sini pasti ada dokter syaraf. Iya, harus di periksa intensif, jangan di remehin luka akibat benturan ! Ayo, mama temenin ke poly syaraf. Yuk, buruan !" cerocos mamanya panik.

Corina terkekeh geli melihat kepanikan mamanya. Tapi juga terharu dengan perhatiannya.

"Udah kok ma, udah ke dokter tadi. Nih makanya di perban segala ... "

TOXIC  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang