00

69.3K 5.6K 1.7K
                                    

PROLOG

24 Agustus 2021 [11:56 PM]

Kota Inverness tampak tidak bersahabat malam ini. Hujan terus saja turun sejak sore tadi tanpa memberi kepastian kapan dia akan berhenti, membuat gadis berambut merah itu gelisah di atas tempat tidurnya. Sebenarnya dia tidak memiliki masalah dengan hujan. Petir. Atau semacamnya. Hanya saja sebentar lagi pergantian malam dan lima menit yang akan datang itu adalah hari istimewanya. Tidak seharusnya cuaca mengacaukan momen itu.

Tanpa memedulikan keresahan Iris, petir terus saja menggelegar. Angin berhembus kencang menyapu tirai jendela. Kilatan cahaya putih mengisi kegelapan kamar membuat mata biru gadis itu berkilau lebar. Akhirnya dia duduk, menampik kasar selimut bulu yang menutupi tubuhnya. Iris baru saja mau menyalakan lampu saat ketukan di pintu kamarnya terdengar.

Seketika semua keresahan di dalam dadanya luruh saat dia menyadari siapa yang ada di balik pintu itu. Cepat-cepat dia menyalakan lampu dan berlari membuka kunci. Ketika papan pembatas itu terbuka luas, senyum di wajah gadis itu terukir.

"Happy birthday!!" Suara Ibunya menyambut disertai senyum lebar, kedua tangannya memegang kue dengan lilin angka delapan belas di atasnya.

"Selamat bertambah tua, gadis Ayah." Pria di samping Ibunya ikut memberikan ucapan. Dia sedang menenteng tas besar yang Iris tebak pasti hadiahnya.

"Oh Mom... Dad." Dengan penuh suka cita, Iris mencium pipi Ibunya dan memeluk tubuh Ayahnya bergantian. "Thank you."

Ini adalah momen ulang tahun yang selalu mereka rayakan bersama, dan tidak ada yang berbeda setiap tahunnya. Tapi Iris selalu gembira tanpa ada sedikit saja rasa jenuh, karena sebagai anak satu-satunya, dia memang ingin selalu dimanjakan seperti itu.

"Ayo tiup, sebelum lilinnya habis." Daisy dengan semangat memberitahu.

"Biarkan dia duduk dulu, honey..." Tangan kanan Aric yang memiliki banyak tato menarik pelan tangan putri cantiknya itu ke dalam kamar untuk duduk di kasur. Daisy menghela napas pelan dan mengikuti perintah suaminya. Dia duduk di samping Iris masih dengan kue dan lilin yang menyala.

Sebelum meniup angka delapan belas tahun itu, Iris menutup mata dan menggenggam kedua tangannya di depan dada. Dia berdoa semoga tahun-tahun seperti ini akan terus ada. Semoga Ayah dan Ibunya selalu berbahagia dan mereka tidak pernah pindah rumah lagi. Sejauh ini, Inverness adalah kota yang paling dia sukai daripada kota-kota sebelumnya yang mereka tinggali.

Dengan sekali tiupan, lilin itu akhirnya pudar. Iris bertepuk tangan dengan gembira.

"Oh, aku lupa membawa pemotong kue. Tunggu di sini, aku akan ke dapur mengambilnya." Daisy beranjak dari kasur dan melewati pintu kamar.

"Jadi Dad, hadiah apa yang kau berikan kali ini?" Sambil menunggu Ibunya kembali, Iris mengambil tas yang berada di tangan Ayahnya. "Oh my God. It's wolf!" Dia bersorak bahagia saat boneka itu berada di genggamanya. Bentuk lucu boneka itu sangat kontras dengan warnanya yang merah menyala. "Tapi, Dad... Mengapa merah? Aku tidak pernah melihat Serig-"

"Aaaaa!!!" Jeritan dari arah dapur menghentikan pertanyaan Iris. Dia dan Aric terdiam dengan mata melebar sebelum akhirnya tersadar kalau itu teriakan Daisy dari arah dapur. Kue terjatuh hancur ke lantai karena Iris tergesa-gesa melepaskannya.

"MOM?!" Langkah kaki mereka memenuhi tangga kayu begitu berlari turun. Tepat saat mereka berdua menginjak perbatasan antara ruang tengah dan dapur, mata Iris saat itu juga menangkap darah berceceran di lantai.

Napasnya tercekat di tenggorokan. Seluruh komponen sel dalam tubuhnya serasa terkunci begitu saja. Kedua tangannya bergetar mengepal kuat. Mata birunya kian melebar dan gamang.

THUNDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang