• 39 •

3K 339 75
                                    

~ Happy Reading ~

~ Happy Reading ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌠🌠🌠

HELAAN napas panjang keluar dari mulut wanita setengah baya, kala ia membuka pintu bercat putih dengan tulisan tebal, menandakan profesi seseorang yang ada di balik pintu.

Kedatangannya diberi sambutan ringan oleh pria berjas putih yang duduk di balik meja. Stetoskop yang bertengger di leher pria itu sebagai tanda bahwa ia adalah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit ini.

Wanita itu—Anjani, duduk di hadapan Dokter Fariz. Bersiap mendengar hal apa pun penjelasan dari Dokter Fariz mengenai kondisi putrinya, Sheena. Anjani datang sendiri ke rumah sakit setelah dokter itu meminta dia untuk datang. Irawan tidak bisa menemani, sebab urusan pekerjaan yang tidak dapat diwakili.

“Jadi, bagaimana dengan kondisi Sheena, Dok? Apa ada kemajuan?” Anjani lebih dulu bertanya. Jelas sekali wanita itu berharap, Dokter Fariz akan mengatakan Sheena baik-baik saja.

Pria berjas putih itu menghela napas pelan sebelum menjawab. Anjani mendengar semua penjelasan Dokter Fariz. Setiap kata yang keluar dari mulut dokter itu diresapi baik-baik. Ia sama sekali tidak menyela sampai dokter itu selesai bicara.

Bermenit-menit lamanya mendengar semua perkataan Dokter Fariz, Anjani  tertunduk dalam. Apa yang dikatakan oleh Dokter Fariz berhasil membuatnya hilang semangat.

“Sheena tidak boleh terlalu capek. Dia harus lebih banyak istirahat. Obat saja tidak cukup membantu Sheena bertahan lama,” jeda Dokter Fariz. Ia menatap wanita itu penuh sesal. Tidak tega melihat kesedihan mendalam dari orangtua yang sangat menyayangi putrinya ini.

“Sheena tetap membutuhkan donor hati secepatnya,” lanjutnya lagi. “Dan sampai sekarang, pihak rumah sakit belum bisa mendapat pendonor yang cocok untuk Sheena,” jelas Dokter Fariz kembali.

“Dan untuk menjaga kesehatan Sheena, saya menyarankan agar dia berhenti melakukan aktivitas lebih. Banyak resiko yang bisa terjadi kalau Sheena memaksa diri melakukan kegiatan yang bisa membuat tubuh dia lemah.” Dokter Fariz menjeda kalimatnya beberapa detik. Tidak tega melihat Anjani yang mulai menangis.

“Jangan ada yang disembunyikan lagi dari Sheena, Bu Anjani. Ini semua demi kebaikan Sheena sendiri. Sheena harus tahu kondisi dia yang sebenarnya. Tetap membiarkan Sheena sekolah formal, sejujurnya tidak baik untuk kondisi dia.”

Anjani membuang napas berat. Sudut matanya mulai basah. Pertanda sedih mendengar penuturan Dokter Fariz tentang Sheena. Ia menatap dokter itu seraya menggeleng samar. “Saya nggak tega, Dok. Bisa masuk sekolah formal adalah keinginan terbesar Sheena,” kata Anjani, tak sanggup menahan air matanya untuk turun.

G E M I N I [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang