21. Remember Me, Please

94 9 20
                                    

Aku cintamu. Tidakkah ada satu hal yang masih kau ingat tentang diriku?
~~~

Happy reading, guys!🤗

••
Sudah lebih dari tiga puluh menit setelah Siddharth dimasukan ke dalam UGD. Namun masih belum ada tanda-tanda semuanya sudah selesai. Entah berapa lama lagi harus menunggu, dan entah apa juga yang sedang dilakukan oleh para dokter itu terhadap Siddharth.

Setiap detak jantung masih tak terkendali. Tarikan nafas masih belum normal. Suhu tubuh terasa semakin menurun. Semua orang masih diselimuti oleh ketegangan, dan tak kunjung mendapatkan ketenangan, meskipun itu hanya secerca saja.

Syafa terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit. Kelopak matanya membengkak, namun aliran sungai air mata masih setia menghiasi wajahnya. Darah Siddharth yang berada di telapak tangannya mulai mengering. Sakit. Sakit tak terkira kala mengingat bagaimana darah itu harus menghiasi tangannya.

Suaminya tengah berjuang antara hidup dan mati. Namun ia tak bisa melakukan apapun. Ia menyesal. Menyesal karena tidak bisa mencegah hal buruk itu terjadi.

Semoga saja. Semoga saja Siddharth bisa melewati masa kritis ini. Dan kembali sadar tanpa suatu kekurangan apapun.

"Syafa." Panggilan lembut itu mengiringi sebuah tangan mendarat di bahu Syafa dan mengelusnya dengan lembut.

Syafa mengangkat pandangannya yang terus menunduk. Menatap seseorang yang kini berada di sampingnya.

Vibha menampilkan senyuman tipisnya. Ia mengesampingkan rasa pedih yang menikam hatinya demi memberi sedikit ketenangan bagi menantunya itu.

"Haan, Mammi?" (Ya, Ibu?) Suaranya bergetar, tanda ia masih belum bisa mengendalikan gejolak yang mengguncang dirinya.

"It's past the time of Isya Prayer. You go on. And do your worship first." (Ini sudah lewat waktu Sholat Isya. Kamu pergilah. Dan jalankan ibadahmu dulu.) Peringat Vibha dengan penuh pengertian.

Syafa tersadar. Karena kekhawatirannya tentang keadaan Siddharth, nyaris membuatnya lupa akan kewajiban yang harus ia jalankan.

Beruntung dengan besar hati Vibha mengingatkan Syafa. Meskipun sudah diketahui bahwa Vibha kini memeluk agama Hindu, dan bukan Islam. Namun Vibha masih mengingatkan Syafa untuk menjalankan ibadah Sholat Isya.

"You take it easy. If any word about Siddharth. I'll tell you right away." (Kamu tenang saja. Kalau ada kabar tentang Siddharth. Aku akan segera memberitahumu.) Lanjut Vibha dengan lembut.

Syafa mengangguk pelan. "Theek hai." (Baiklah.) Balas Syafa. Meski terasa lemas, Syafa menguatkan diri untuk bangkit dari duduknya.

"You are so weak. Let me accompany you go to worship." (Kamu sangat lemas. Biar aku menemanimu pergi untuk ibadah.) Ujar Vaishnavi menawarkan diri.

"No, Didi. Thank you. But i can do it alone. Let me go alone." (Tidak, Kakak. Terimakasih. Tapi aku bisa sendiri. Biar aku pergi sendiri saja.) Tolak Syafa dengan lembut.

"Alright. Be careful, Syafa." (Baiklah. Hati-hati, Syafa.) Ucap Vaishnavi lagi.

Syafa mengangguk pelan sebelum akhirnya melangkahkan kaki pergi menuju Mushola yang berada di rumah sakit.

••

Air wudhu mengalir membasahi setiap bagian tubuhnya. Ketenangan berusaha dicari. Air mata berusaha dialirkan bersamaan dengan jatuhnya air wudhu.

Mukena yang sudah melekat di tubuh, berusaha menjadi penutup luka. Ia lakukan setiap gerakan Sholatnya dengan khusyu' dan sempurna. Mulutnya melantunkan setiap bacaan Sholat, hatinya terus menyebut nama Allah sang Maha pencipta.

About STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang