Soraya tersenyum samar saat melihat siapa yang datang. Dia berlari mendekat dan bersimpuh di hadapan orang itu."Ayah, tolong aku. Ibu sudah gila, dia ingin membunuhku." Soraya membuat wajah sesedih mungkin.
Wajah orang yang dipanggil ayah itu pun murka saat melihat apa yang terjadi dengan istrinya. "Lalu apa yang kau lakukan kepada istriku, Jalang?!"
Soraya menunduk dan tersenyum misterius. "Ayah, kau tidak tahu, aku tidak sengaja menumpahkan makanan ke tubuh Ibu, lalu aku menolong Ibu agar tidak kepanasan dengan menumpahkan air putih, lalu Ibu marah dan ingin membunuhku."
"Tidak sengaja? Kau sengaja menumpahkan kari itu kepada Ibu!" teriak Aditya murka.
"Tidak, itu tidak benar!" balas Soraya keras.
"Apa yang dikatakan oleh Aditya adalah kebenaran, wanita gila ini menumpahkan kari ke tubuhku. Minggir, aku akan membunuhnya!" Meri mengisyaratkan agar suaminya minggir.
Prabu Rahardian hendak saja menendang Soraya agar menjauh jika tidak mendengar suara Soraya yang berucap dengan sinis.
"Padahal aku pikir Ayah akan menolongku setelah sekian lama. Ayah, aku melihatnya, loh, di lift perusahaan saat Ayah mengunjungi Aditya, Ayah pasti paham, bukan?"
Gerakan Prabu terhenti saat mendengar itu. Dia mematung saat mendengar itu, ini semua tidak baik. "Istriku, sudah lupakan saja. Ayo kita pergi ke dokter saja." Dia berlalu meninggalkan Soraya yang masih bersimpuh di lantai dan tersenyum puas.
"Apa maksudnya ini, Ayah?" tanya Rahardian.
"Iya, apa maksudnya ini, Suamiku?"
Prabu menoleh ke belakang dan tersenyum masam. Dia tidak mungkin mengatakan secara langsung bahwa dirinya melindungi Soraya.
"Tidak ada maksud, lihatlah, badanmu seperti ini. Jangan terus mempertontonkan kebodohan kita kepada orang sepertinya, biarkan saja dia pergi dan aku akan membawamu ke dokter terbaik agar kau bisa diberi obat secepatnya." Prabu memeluk Meri.
Soraya bangkit dan tertawa. "Lihatlah, suamimu melindungiku. Selama ini aku selalu diam dan tidak membuka mulut, sekali membuka mulut suamimu akan melindungiku. Aditya, aku menantikan harta gana-gini yang aku bicarakan tadi. Sekarang aku harus pergi dulu, terima kasih untuk makan malam dan hiburannya." Soraya berjalan mendekat dan mengambil tas yang berada di meja makan.
Meri memberontak dari pelukan Prabu. "Lepaskan aku! Aku akan benar-benar akan membunuhnya, dia benar-benar membuatku naik darah. Lepaskan aku!"
Soraya mengabaikan teriakan itu dan keluar dengan perasaan bangga. Jika ditanya apa dirinya senang? Maka jawabannya adalah iya, ada kepuasan dan kesenangan di dalam dirinya. Namun, ada pula hal kosong yang ada di dalam dirinya.
Tanpa sadar air mata Soraya luruh saat melewati pintu rumah dia tidak merasa sedih, tetapi air mata jatuh begitu saja.
"Eh, kenapa denganku? Apa ada yang salah? Aku tidak sedang membuat kesalahan kenapa aku menangis? Perasaan apa ini?" tanya Soraya kepada dirinya sendiri.
Sepanjang jalan dirinya terus menangis, tidak ada yang menyakiti. Namun, air mata selalu luruh entah apa yang salah kepada dirinya. Soraya terus menyusuri jalanan untuk bisa segera pulang dan berdiam diri di dalam kamar, suatu saat dirinya akan kembali membalaskan rasa sakit yang dia terima. Semua ini belum cukup, rasa sakit yang keluarga itu berikan belumlah cukup luka satu tahun lebih belum pulih hanya dengan satu gertakan saja, saat mereka jatuh ke titik terendah maka dirinya akan merasa bahagia.
Mobil berhenti di samping Soraya yang terus menyeka air mata dan berjalan pulang. Soraya menyipitkan mata saat kaca mobil dibuka, Jack berada di sana mengerutkan kening saat melihat Soraya yang berlinang air mata.
"Naiklah. Aku akan mengantarmu pulang, tidak baik seorang wanita berjalan kaki saat malam seperti ini." Jack mengisyaratkan agar Soraya segera naik di kursi sebelah.
Soraya mengangguk dan berjalan untuk masuk ke dalam mobil Jack. Melihat Soraya yang masih saja menangis meski sudah sampai di dalam mobil, dia segera menjalankan mobil setelah Soraya mengenakan sabuk pengaman.
"Ada apa? Kenapa menangis, apa ada yang menyakitimu? Katakan saja apa yang terjadi."
Soraya menggeleng dan menghapus air mata, tidak lupa senyuman di antara air mata yang jatuh. "Aku tidak kenapa-kenapa, hanya saja aku merasa senang karena baru saja membuat perhitungan dengan keluarga Rahardian. Mungkin aku merasa senang, hanya saja ...." Soraya menundukkan kepala saat mengatakan itu.
"Hanya saja apa? Apa mereka menindasmu lagi?"
Dengan cepat Soraya berkata, "Tidak, mereka tidak menindasku. Hanya saja hatiku sakit saat melihat mereka menangis seperti tadi, aku seakan iba melihat tangisan itu hatiku terasa kosong saat mengingat itu lagi."
Soraya pun menceritakan apa yang terjadi di rumah besar keluarga Rahardian, tidak secara detail hanya inti dari permasalahan saja yang Soraya ceritakan.
Jack tersenyum kecil. "Jika kau ingin menjadi hitam maka jadilah hitam sepenuhnya, jika ingin menjadi putih maka jadilah putih sepenuhnya jangan biarkan titik hitam membuat putihmu ternoda."
"Eh, maksudmu apa?"
"Singkatnya begini. Saat kamu ingin menjadi jahat hilangkan saja sifat baik, simpati, dan segalanya karena sifat itu akan menjadi penghambat. Nah, jika kamu ingin menjadi baik maka hilangkan saja sifat jahatmu, balas dendam, kebencian, hinaan, dan segala macam hal jahat, kalau kau terus menyimpan semua itu sama saja dengan kau menjadi wanita munafik yang setengah-setengah tidak memiliki pendirian," jawab Jack menjelaskan kebingungan Soraya.
"Aku tidak ingin menjadi jahat setiap saat, aku hanya ingin membalas lukaku saja. Aku tidak ingin menjadi hitam juga tidak ingin menjadi wanita munafik," ujar Soraya muram.
"Abaikan saja. Sejahat apa pun orang pasti memiliki sifat baik juga meski cuma setitik, tidak ada salahnya kau ingin balas dendam, hanya saja saat kau sudah tidak sanggup hentikan balas dendammu dan abaikan saja semuanya. Setidaknya dengan begitu kau sudah mengetahui bagaimana rasanya melihat orang yang menyakitimu menderita."
"Begitu, ya. Kau tahu banyak tentang hal ini, apa kau juga pernah merasakannya?" tanya Soraya menatap Jack yang fokus mengendarai mobil.
"Merasakan balas dendam? Tentu saja, aku juga ingin membalaskan semua yang aku rasakan di masa lalu, sebentar lagi aku pasti bisa mencapai keiinginanku saat kau mencapai keiinginanmu juga."
Soraya memiringkan kepala bingung dengan perkataan Jack. "Heh? Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Lupakan saja. Apa kau sudah makan malam? Aku sangat lapar dan butuh asupan makanan."
Membicarakan tentang makan, Soraya teringat dirinya di rumah Rahardian belum sempat untuk makan dan sudah meninggalkan rumah itu setelah membuat kekacauan.
"Belum, aku di rumah itu tidak sempat makan malam langsung pulang begitu membuat kekacauan."
"Baiklah, ayo kita mencari tempat makan, aku yang mentraktir. Lain kali jika ingin membuat mereka sengsara jangan lupa mengajakku."
"Hm, baiklah, aku akan mengajakmu lain kali."
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK.
Yoshhh, penyiksaannya ditunda nanti lagi, sekarang waktunya makan mereka. 🤣🤣
Semoga suka.
Salam sayang
Author L4 Desember 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam (COMPLETED) ✓
Romance(Cerita ini sudah ending, jangan lupa follow dan jangan lupa juga dukungannya) Ketika sahabat terbaik mulai merebut suami tercinta dan membunuh anak yang baru berada di dalam kandungan. Siapa pun pasti akan merasakan amarah yang tidak terkira. Begi...