15. Lorek

200 96 12
                                        

Diam tidak pernah menerkam,
ia selalu menghanyutkan.

•••

"Tergantung. Apa lo pergi, kalau muak?" tanya Anesha sambil memainkan ringan derap sepatunya. Berdiri untuk hal remeh sering membuat waktu menjadi panjang. "kalau iya, bakal gue gencarin."

Bersedia pasang badan untuk seseorang, sejatinya tak pernah menjadi gelagat Dillon yang selama ini Anesha kantongi. Lalu, dengan cara apa Bunga membujuk orang sok sibuk ini, hingga tergiur mengikuti permainannya? "Minta maaf, Sha."

"Sama?"

Dillon menghela napas berat. Apa dengan untaian yang terpampang, gadis dihadapannya masih tak paham dengan ekuivalensi yang Dillon sederhanakan? Buang-buang waktu saja. Tapi ia tidak bisa tinggal diam selagi kawannya layu, terlebih ia mengenal sedikit apa pemicunya. "Bunga."

Anesha mengalihkan pandangan ke sekitar. "Mana orangnya?"

Bunga belum datang, jadilah sesi maaf ini tertunda. Seharusnya saat bel masuk menggema tadi Anesha sudah berniat membereskan, tapi Dillon dibutuhkan untuk hadir pada pada rapat OSIS, ia meminta Anesha untuk mengundur hingga Dillon memiliki waktu senggang. Dillon sudah dulu curiga pada ketulusan yang akan Anesha kucurkan pada Bunga. Padahal Anesha sudah berberat hati mengikuti sedikit permainan lawan, tapi malah membuatnya terhadang kalut.

Pada istirahat pertama, Anesha menemani Olethea memburu menu andalannya di kantin. Sejenak saja, hingga seseorang tampak tak tahu diri merecoki kedamaiannya yang berharga.

Dillon Randezo

| Ke taman. Lima menit.

[ Gak bisa di tempat lain?
Gue lagi di kantin. Jauh. ]

| Takut lo jalan sendiri?

[ Lon, jangan buat gue ketawa. ]


Dillon sudah duduk pada bangku taman lebih dulu, ia mengamati jejak langkah yang Anesha ambil, selagi Anesha menatapnya setengah niat.

"Maaf." Anesha menatap datar bunga dihadapannya yang diajak bertamu kupu-kupu. Ia sudah bersedia memangkas jarak, agar bisa meledek Dillon lain kali. Bagaimana orang lugu ini dengan mudahnya masuk perangkap penipu.

"Bunga bisa lari kalau cara lo gitu," lontar Dillon tak habis pikir.

Anesha mengambil duduk dalam senyap, ia memandang bunga tadi sekali lagi, mereka tidak pernah lari. Ia melempar fokusnya ke arah lain, memindai apakah posisi Bunga sudah dalam jangkauan. Nihil saja menghadang. "Lama, waktu gue juga berharga."

Dillon menaikkan alisnya. Bukankah ucapan Anesha terdengar cukup konyol? "Emang lo ada tempat tujuan?"

"Gue masih ngerti tempat mana yang layak gue kelayapin kali," tegas Anesha tanpa menatap lawan bicara. Setelah itu keduanya terkepung senyap. Bedanya, senyap mendekap Anesha selagi membekap Dillon.

"Kamu teman sekelas Badra, kan, ya?" Oh? Sepertinya ketentraman hari milik Adelio berpotensi terusik. Tidak tahu adat, ini perpustakaan, jadi berhenti membunyikan cabang-cabang pikiranmu yang berisik! Setidaknya, tunda dulu.

Adelio meletakkan sejenak buku bacaannya, memindai siapa orang yang tampaknya kurang kerjaan. Ia mengernyit sejenak, yah, Adelio sedikit mencuri dengar apa yang orang di hadapannya dan Anesha debatkan. "Iya, Kakak Kelas dari eskul bahasa Inggris?"

Pangeran menaikkan alisnya, matanya sedikit terbelalak. Ia lantas mengambil duduk. Apa raut Adelio tampak seperti menerima? Ia bahkan belum mempersilakan. "Ingat? Kukira wajahku mudah kabur di ingatan."

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang