59

1.1K 151 2
                                    


Thor balikk

.

.

.

.

.

Happy Reading, Good Reader^^

.

.

.

.

Selama hampir seminggu ini Jungkook dan Seokjin masih belum siap untuk menanyakan perihal Taehyung pada sang ayah. Maklum saja, beberapa hari yang lalu tuan Kim sibuk lembur karena harus mengoperasi banyak pasien.

Seokjin hanya tak ingin membuat sang ayah menjadi lebih terbebani ketika mereka bertanya mengenai masalah ini. Taehyung pun juga beberapa hari ini setelah kembalinya dari toko buku bersama Jeonghan lebih memilih berada di kamar sepanjang waktu.

Biasanya ia akan membaca semua buku dan juga melanjutkan beberapa pekerjaannya yang hampir terbengkalai. Minggu depan ia harus kembali ke Osaka untuk mengecek keadaan proyek yang sudah ia tanggungjawabi sepenuhnya.

Jungkook sempat ingin ikut tapi ditolak oleh Taehyung karena sebentar lagi adiknya itu akan masuk ajaran baru. Ia hanya tak ingin membuat adiknya kerepotan karena ikut dirinya ke Osaka.

Tapi bukankah ia harusnya sudah kerepotan sejak awal? Ia kuliah dan menyambi mengatur bisnis di Osaka seorang diri. Dia bahkan harus bolak balik ke sana seminggu tiga kali. Tidakkah itu melelahkan? Tapi Taehyung tak sedikitpun mengeluh karena hal itu dan itu membuat Seokjin dan Jungkook mengkhawatirkannya.

Seokjin hari ini ada pertemuan dengan kolega sang kakek karena beliau sedang tidak bisa menghadirinya. Seokjin nampak tampan dan rapi dengan setelan jas hitamnya. Dengan mengendarai mobilnya sendiri ia pergi menuju tempat pertemuan itu.

Hari ini pukul 5 sore dan mungkin pertemuan itu juga akan diadakan berbarengan dengan makan malam bersama. Toh hanya sepuluh orang yang menghadiri. Tempat tak jauh dari pusat kota. Berada tepat di restoran tradisional Jepang yang begitu elegan dan tenang.

Seokjin menyapa orang-orang tersebut dengan ramah dan saling mengobrol singkat. Seokjin tertegun karena ternyata kolega yang dimaksud oleh kakeknya adalah para petinggi rumah sakit, beberapa dokter, dan pengelola laboratorium.

Seokjin mencoba menyesuaikan diri dengan arah perbincangan yang sebenarnya tak terlalu ia pahami karena bahasannya terkesan aneh dan random menyangkut rumah sakit. Ia hanya sesekali menanggapi dan sesekali menyesap teh hangatnya.

"Tuan Shu, saya berharap projek anda kali ini sukses dan dapat segera dipatenkan. Sudah hampir lima tahun anda mengerjakan projek ini dan mengorbankan banyak nyawa. Sudah waktunya anda menyelesaikan projek ini untuk para pasien yang membutuhkannya." Ucap salah satu kolega yang berumur sekitar 48 tahun pada tuan Shu yang nampak begitu tenang dengan duduknya.

Seokjin terdiam sembari terus memasang telinga tentang pembahasan yang terkesan mencurigakan itu.

"Finalnya bulan Juni besok tuan-tuan. Projek ini akan segera dipatenkan." Ucap tuan Shu yang membuat beberapa dari para kolega terkagum.

"Maaf, tuan. Jika saya boleh tahu, projek apa yang sedang dibahas tuan-tuan tadi?" bisik Seokjin pada salah satu kolega yang terlihat seumurannya.

"Brain-Tube, tabung ukuran kecil yang akan ditanamkan ke dalam otak untuk para pengidap penyakit langka." Seokjin terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Penyakit langka? Memang apa kegunaan Brain-Tube itu?" tanya Seokjin mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Beberapa waktu yang lalu ada beberapa pasien yang pengidap mati otak sensorik, yang mengakibatkan penderitanya tak bisa merasakan rasa sakit dan hawa temperatur, pihak medis menyebutnya CIPA. Brain-Tube digunakan untuk memberikan rangsangan atau jaringan bantu palsu agar jaringan otak lain bisa terkoneksi dengan otak sensorik." Seokjin mencoba tak percaya denga penjelasan itu.

"Anda tadi berucap beberapa pasien, memang berapa banyak?" tanya Seokjin lagi.

"Ada sekitar 6 orang dirumah sakit ini dan tiga diantaranya meninggal karena kegagalan projek pertama." Seokjin melebarkan matanya tak percaya. Semudah itukah nyawa dipermainkan oleh pihak laboratorium.

"Sekarang tersisa 3 pasien, dimana pasien pertama sedang menjalankan pemeriksaan berkala karena tabung itu sudah ditanam dalam otaknya. Satunya tak bisa kami beri penanganan karena masalah mentalnya sehingga harus dikembalikan ke tempat asalnya.."

"Lalu satunya lagi?"

"Umurnya masih belum mencukupi. Berdasarkan data, bulan November ini umurnya sudah genap dan bisa untuk diberi penanganan." Degup jantung Seokjin mulai tak karuan. Ia mulai berkeringat dingin dan tak nyaman.

"Apakah kontrak semacam itu bisa dibatalkan?" tanya Seokjin lirih dan membuat kolega disambingnya mengernyit heran.

"Bisa saja, tapi hanya si pasien dan walinya yang bisa melakukannya. Apa anda baik-baik saja tuan Kim? Anda nampak sedikit pucat." Ucap pria tersebut. Seokjin segera menyeka keringatnya dengan serbet yang selalu ia bawa.

"Benarkah? Mungkin hanya sedikit lelah, saya banyak melembur pekerjaan beberapa hari yang lalu." Ucap Seokjin asal.

"Anda bisa kembali ke mansion jika anda merasa tidak enak badan tuan Kim. Kami semua akan memaklumi hal itu." ucap pria tersebut lagi karena merasa cemas dengan rekan barunya itu.

"Kau benar, mungkin saya memang harus kembali segera mungkin sebelum saya jatuh pingsan." Seokjin berdiri dari duduknya dan sukses menjadi pusat perhatian para koleganya.

"Maafkan saya tuan-tuan. Saya merasa sedikit tidak enak badan dan merasa pusing. Saya ingin meminta ijin untuk kembali ke mansion dan beristirahat." Ucap Seokjin dengan sopan. Semua orang disana saling bersautan memaklumi dan mempersilahkan Seokjin untuk meninggalkan pertemuan lebih awal karena toh pertemuan itu hanya makan malam biasa.

"Terimakasih atas kemurahan hati anda tuan-tuan. Saya permisi, selamat malam." Seokjin langsung berjalan keluar dan segera meninggalkan restoran itu untuk kembali ke rumah.

Pikiran Seokjin sudah berkelana kemana-mana karena ucapan salah salah satu kolega barunya. Apakah yang ia maksud adalah Taehyung? Benarkah Taehyung akan mendapatkan penanganan yang terkesan sangat beresiko mengingat ada cukup banyak korban yag harus merenggang nyawa karena Brain-Tube itu.

"Ayah, aku harus segera menghentikan ini." gumamnya sembari melajukan mobilnya cepat menuju mansion.

.

.

Seokjin bergegas menuju ruang kerja sang ayah tak yang jauh dari kamarnya. Jungkook yang berada di ruang keluarga memandang kepergian hyungnya dengan heran. Seokjin membuka pintu ruang itu dengan terburu-buru. Syukurlah ayahnya berada disana dan sedang menulis sesuatu di sebuah buku.

"Kau sudah pulang Jin-ah." Ucap tuan Kim sembari meletakkan penanya. Seokjin berjalan mendekat kearah sang ayah.

"Apa kau baru saja lari maraton? Kau berkeringat sangat banyak Seokjin-ah.." tuan Kim terheran dengan sikap putranya itu.

"Ada apa? Apa yang baru saja terjadi?" tanyanya lagi setelah menyadari perubahan ekspresi sang anak.

"Bisakah ayah menjawab perihal ini dengan jujur. Seokjin butuh penjelasan ini, yah." Tuan Kim tertegun sekaligus tak mengerti dengan arah pembicaraan putranya. Apa yang harus ia jelaskan sedangkan ia sudah jujur tentang semua hal pada putranya itu.

"Duduk dan tenangkan dirimu dulu Seokjin-ah. Ayah akan menjawab semua pertanyaanmu asalkan kau tenang."Ayah dan anak itu akhirnya duduk di sofa ruang kerja sang ayah. Seokjin menegak air putih yang disodorkan oleh sang ayah.

"Sudah mendingan?" Seokjin mengangguk singkat.

"Ayah berjanji untuk menjawab semuanya dengan jujur kan?" tanya Seokjin lagi memastikan.

"Ya, apapun untukmu nak."

.

.

.

.

.

UnFeeling (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang