12. He in His Feeling

1.3K 161 95
                                    


Additional part

Lionel Juno

Sejak seharian kemarin menghabiskan waktu di apartemen ini, aku sudah mulai terbiasa bangun di atas seprei renda dengan aroma bunga di sekeliling. Lalu menjadi semakin bahagia karena begitu membuka mata, aku bisa langsung melihat gadisku tertidur pulas disampingku, bersamaku.

Masih terasa seperti mimpi aku bisa menyentuh dan memilikinya, hingga hilang sifat lapar dan dahagaku dengan segala yang ia punya.

Dia begitu cantik. Kulit porselen dipadu rambut honey blonde-nya terlihat berkilau di atas seprei putih bersih. Wajahnya yang halus tampak lembut ketika tidur, dan bibir merah mudanya yang mungil sedikit terbuka. Melihatnya tidur dengan disirami sinar mentari pagi yang menerobos selambu, aku yakin bisa berbaring di sini sepanjang hari hanya untuk memperhatikannya.

Salah satu hal terbaik dalam hidupku telah dikembalikan lagi ke sisiku, setelah sebelumnya melewati fase penuh hantaman dan kesakitan akibat kehilangannya. Aku bersyukur karena segalanya telah membaik dan berbalik arah dalam sekejab.

Jung Il-Lee, perempuan yang selalu berhasil membuat hari-hariku menjadi luar biasa hebatnya.

Dia tidak hanya cantik, tapi juga lucu, menggemaskan dan tidak pernah membuatku bosan. Setiap hari aku selalu dikejutkan dengan tingkahnya yang aneh dan ajaib, yang terkadang tidak sepenuhnya aku mengerti. Tapi justru karena itulah, ia bisa menorehkan warna dalam hari-hariku yang sebelumnya serba suram dan monoton.

Lalu hari ini adalah hari terakhir kami bertemu di Seoul karena besok pagi-pagi sekali aku harus off ke Incheon untuk persiapan terbang ke beberapa negara Eropa. Aku cukup menyesal begitu sadar segalanya bisa berlalu begitu cepat. Kalau saja saat itu aku mampu menahan ego dan tidak pergi meninggalkannya begitu saja, mungkin sudah kemarin-kemarin dia menjadi milikku sehingga aku tak perlu menderita lebih lama.

Sementara harapanku untuk besok, semoga ia bersedia mengantarkanku ke bandara, karena aku amat sangat membutuhkan kehadirannya melepasku sebelum kami terpisah jarak.

Hari itu semakin dekat dan masih ada sedikit rasa khawatir jika dia merasa 'tidak cukup' saat aku tak berada di dekatnya. Meski berulang kali dia bilang masih sanggup menahan rindunya dan menjaga setianya, namun tetap saja masih ada kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Selanjutnya aku malas menerka, sebebas dan seliar apa dia nanti bila tanpaku .

Ily menggeliat dalam tidurnya, mengangkat satu lengan di atas kepalanya, menyebabkan selimut meluncur menuruni tubuhnya dan memamerkan satu payudaranya yang sempurna.

Itu artinya aku bisa menyelipkan tanganku di rumpun rambutnya dan membangunkannya dengan memberi kecupan nakal di setiap inch tubuhnya, tapi aku menunggu. Aku ingin memperhatikan dia selama beberapa menit lagi.

Aku tidak pernah merasa sedalam ini mencintai seseorang. Setiap detik yang kuhabiskan dengannya, semakin membuat aku larut dalam mendambanya. Aku ingin segera menikahinya, punya beberapa anak dan hidup bersama selamanya dengan baik, meski dengan jelas ia pernah menolak gagasan itu bahkan sebelum aku sempat mengutarakannya.

Meski tak tahu alasannya, aku tidak lagi keberatan menunggunya sampai berapa lama pun. Aku ingin dia terus merasakan cintaku sambil berharap pandangannya terhadap pernikahan lambat laun bisa berubah.

Sesaat setelah aku menurunkan wajah hendak mengecupnya, tiba-tiba ponsel Ily yang tergeletak di meja nakas berbunyi nyaring.

Aku meliriknya dan melihat nama 'ibu' di sana. Mataku beralih lagi pada putri tidurku yang masih juga belum bergerak. Lalu menyibak rambut dari lehernya dan berbisik lembut. "Sayang... Ibumu menelepon. Kau harus mengangkatnya."

Captain CasanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang