36. Choosing The Easy Way Out

1K 143 92
                                    

Tokyo, musim gugur.

"Sakura memiliki bentuk kelopak yang khas." Ujar ibu sambil menyentuh obi, sabuk kain yang melilit pinggang Ily. "Mekar sebentar dan sangat rapuh. Melambangkan kelahiran kembali, awal yang baru, keindahan dan kefanaan hidup..."

Ily mengangguk, termenung sebentar. "Sakura sepertinya sama denganku. Karena itu aku memilih kimono ini."

Ibu memang tak banyak bicara sejak kedatangannya ke Tokyo, tapi Ily yakin Ibu sebenarnya telah tahu banyak hal yang tak terceritakan. Memilih bersikap netral, pun tidak memberi komentar atas jalan yang telah dipilih.

Mobil hitam yang membawa mereka akhirnya berhenti di depan kuil tua. Seorang pengawal dengan sigap membukakan pintu untuk Ily sementara wanita perias, gesit merapikan shiromuku putih bersih dengan motif timbul berbentuk bunga sakura yang tengah perempuan itu pakai.

Saat itu Ily menangkap tatapan penuh takjub dari pria berkimono hitam yang telah menantinya tak jauh dari sana. Mereka bersitatap dan mengakhirinya dengan saling melempar senyum hampir tertawa. Meski masih terpana melihat Ily muncul dalam balutan kimono, sanggul khas Jepang ditambah dengan tudung putih yang menaungi kepala, Benji menautkan kedua tangan dinginnya di belakang punggung. Berusaha keras menekan jantungnya yang berdegup kencang seolah ingin merangsek rusuknya.

"Kau.... cantik sekali." Gumamnya begitu Ily berjalan mendekat. "Seperti dewi yang baru saja turun dari langit."

"Kau juga sangat tampan seperti makhluk mitologi." Balas Ily dengan candaan.

Berdua, mereka berjalan beriringan dengan langkah seirama, dipandu dengan dua gadis kuil sepanjang jalan menuju altar untuk bertemu pendeta yang akan memulai ritual. Seorang gadis kuil lainnya bertugas membawakan nampan berisi teko sake, menyilakan mereka meneguknya sebanyak 9 kali secara bergantian.

Hingga tiba pada momen inti, kepala Ily lunglai, jatuh menunduk mendengar Benji membaca gulungan kertas berisi ikrar pernikahan. Kedua netra Ily hanya mampu terpejam selama prosesi itu berlangsung, lamat-lamat menyisipkan doa dan memohon ampunan.

Pernikahan ini seharusnya begitu suci, berlangsung selamanya tak punya batas waktu dan hanya terjadi karena keduanya telah saling menemukan, saling mencintai. Pilunya, mereka justru memulai segalanya dan melandasinya dengan sebuah kontrak perjanjian tertulis.

Bersungguh-sungguh tidak mau jika bayi ini lahir tanpa nama ayah dalam aktanya, ditambah perut Ily yang semakin membesar dari hari ke hari, menuntutnya bergerak cepat dan segera membuat keputusan. Tak ada pilihan lain yang terbaik selain ini.

Lebih-lebih usai peta navigasinya tak berfungsi, hidupnya secara otomatis kehilangan arah, tak lagi punya tujuan dan mimpi yang berarti. Hanya mengikuti kemana saja aliran arus membawanya.

Berlari kencang ke toilet terdekat setelah prosesi pernikahan telah usai, Ily langsung memuntahkan isi perutnya yang sejak tadi ia tahan. Beruntungnya, Pumpkin Pie---nama janin yang sedang tumbuh di perutnya---selalu mendengarkan intruksinya agar muntah di saat yang tepat.

Belum terlahir saja anak itu sudah baik sekali padanya, apalagi saat lahir nanti.

"Lily... Apa kau baik-baik saja?" Dengan raut ketakutan dan khawatir, Benji ternyata sudah menunggunya di depan toilet, langsung mengejarnya begitu melihat Ily pergi tadi.

"Ya... Aku baru saja muntah." Jawab Ily sambil menyeka mulutnya dengan tisu. "Ada apa?"

Lega, lelaki itu pun tersenyum. "Ibuku mencarimu. Kau harus ganti baju untuk acara resepsi."

Alih-alih mengangguk dan segera pergi ke ruang ganti, Ily justru berhambur memeluk Benji, mengeluarkan sesak di dadanya yang telah meletup-letup. Hormon kehamilan memang punya andil besar dalam membuat perasaannya begitu sensitif sepanjang hari sehingga mudah sekali menangis.

Captain CasanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang