27. I Give Up (but Not) Forever

1.2K 142 60
                                    

Some say, it's painful to wait someone.
Some say, it's painful to forget someone.
But the worst pain comes when you don't know whether to wait or forget.

_______________

Pesawat jenis Airbus milik Japan Airlines akhirnya mendarat dengan mulus dan indah sore yang gelap hari itu. Seolah tidak sedikitpun ingat bahwa pesawat telah setidaknya berputar-putar selama satu jam lamanya di atas awan gelap, awak kabin tetap terlihat tenang dan mengulas senyum ramah, mengantarkan kepergian penumpang di pintu keluar meski gerutuan terdengar oleh sebagian besar dari mereka oleh sebab jadwal kedatangan menjadi terlambat bahkan nyaris terbang kembali ke bandara asal.

Sebelum memicu keributan dan protes yang lebih besar lagi, kapten pilot memutuskan keluar dari kokpit, meminta maaf atas keterlambatan dan menjelaskan apa yang telah terjadi di atas awan tadi.

Sementara sang co-pilot memutuskan tidak pergi kemana-mana, hanya duduk di kursinya, masih menenangkan debar jantung atas peristiwa yang baru saja mereka alami. Kepalanya masih pening. Rasanya bumi di sekelilingnya masih bergoyang sebagaimana pesawatnya tadi terombang-ambing oleh angin kencang, didukung dengan petir yang menyambar keras dan visibility (jarak pandang) yang sangat rendah. Meski itu bukan kali pertama dia menemui kendala dalam menerbangkan pesawat, tapi tetap saja itu cukup menguras energinya. Selalu ada waktu yang ia luangkan tiap kali pekerjaannya selesai seperti ini. Benaknya banyak menerka-nerka apakah pekerjaan yang dicita-citakan orangtuanya ini masih cocok untuknya, ataukah lebih baik ia berhenti dan mengejar karir lain seperti mendirikan bisnis yang lebih dekat dengan passion-nya.

"First officer Yokohama."

Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pramugari berdiri di ambang pintu. "Kopi dan makan siangnya sudah siap."

Sepertinya dia sudah melamun cukup lama. "Ya. Saya akan mengambilnya setelah ini."

Sebelum beranjak keluar ruangan, ia terlebih dahulu merapikan ruangan itu, memastikan tidak ada sampah di sana dan meneliti kembali kelengkapan laporan dokumen yang sudah ditanda tangani.

Benjiro Yokohama lahir di Tokyo, 27 tahun silam. Meski hidup dengan kerasnya disiplin orang tua Jepang, ia tidak pernah memiliki pencapaian muluk-muluk, dan memilih membiarkan segalanya mengalir apa adanya. Ayahnya seorang tentara yang kala itu ditugaskan menjaga semenanjung Korea saat negara itu berkonflik, menyarankan untuk mengikuti tes militer begitu ia lulus sekolah menengah. Namun dengan alasan tidak pernah menyukai aktivitas berat dengan risiko selalu jauh dari keluarga, ia menolak dan memilih mengambil sekolah pilot komersial sebagai jalan tengah.

Sudah berkarir di dunia aviasi selama 5 tahun lamanya dan baru ingat jika tahun ini jam terbangnya sudah memenuhi persyaratan naik jabatan menjadi kapten pilot, entah kenapa kenyataan itu tidak membuat performa kerjanya meningkat. Kalau tidak ada alasan lain selain bertahan demi pundi-pundi uang, Benji mungkin sudah mengajukan pengunduran diri sejak tahun lalu.

Karena jiwanya lebih hidup jutaan kali tiap kali berada di dalam studionya, membuat tembikar atau kerajinan keramik lainnya yang telah menjadi hobinya sejak kecil. Realistis yang membuatnya menyerah pada minatnya karena sadar bahwa hobinya sulit menghasilkan materi yang berarti.

Tapi tetap saja, masih ada yang ia syukuri di tengah bencana sekalipun. Andai saat itu ia tidak bertemu seorang gadis yang mampu mewarnai hari-harinya selama mengenyam pendidikan pilot, Benji mungkin tidak akan bisa melangkah sejauh sekarang---menjadi pilot, dianggap memiliki masa depan cemerlang, dan mampu merenovasi studionya sedikit demi sedikit. Dia mungkin akan menyerah di tengah jalan, kelelahan mempelajari matematika dan teknik mesin yang sama sekali tidak pernah menarik minatnya.

Captain CasanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang