Laras Story

25.1K 1.2K 50
                                    

Ada satu fakta yang baru aku ketahui. Ternyata Mas Hardi rumahnya bersebelahan dengan rumah baru Ayah dan Ibu. Aku tidak menyangka bisa bertetangga dengan orang itu.

Aku menghela napas. Melirik jam, jam 11 malam Ayah dan Ibu belum pulang. Pasti mereka sedang menghabiskan waktu berdua di hotel. Tidak memikirkan aku yang kakinya keseleo.

Ponselku menyala, Ayah mengirimiku pesan melalui Whatsapp.

Ayah

Maaf Ras. Ayah sama Ibu belum bisa pulang. Mungkin besok malam.

Main catur sama Ibu?

Main kuda-kudaan

Ini bener Ayahnya Laras?

Bukan
Ini Ayahnya Aura Kasih

Kasihan Aura kasih dapet Ayah begini

Iri bilang bawahan

Gue gk iri Bos


Aku berjalan pelan-pelan ke dapur untuk mengambil minuman untuk diriku sendiri. Suara ketukan pintu membuatku  mengurungkan niat kembali ke kamar.

Aku berjalan pelan ke pintu masuk. Ayah tadi sudah mengabari ia tidak pulang. Positif thingking saja, mungkin itu maling.

Aku membuka pintu. Bersiap memukul kepala maling dengan vas bunga kesayangan Ibu, namun gagal karena ada sesuatu yang menimpa tubuhku.

"Mas Hardi?" tanyaku kaget. Bukan gara-gara kedatangan orang ini yang tak diundang. Tapi kesadaran orang ini yang memudar akibat alkohol.

Mas Hardi meracau tak jelas. Aku membantunya berdiri tegak, ia malah menatapku remeh. Kenapa ni orang? Mabok amer?

"Bisa-bisanya kamu menyelingkuhi aku Nad. Suami kamu!" bentaknya di depan wajahku.

"Sejak kapan gue jadi bini lo woy! Ngawur!"

"Kamu lebih memilih laki-laki itu!" Mas Hardi menunjuk taman depan rumahku.

"Siapa? Tukang kebun taman perumahan?" tanyaku menanggapi. "Kagak lah, gila lo. Dia udah ada istri. Anaknya lima pula."

"Kenapa Nadira?!"

"Nama gue Laras. Pulang sono lo." aku berbalik badan. Ingin menutup pintu rumah. Mas Hardi mencekal tanganku sebelum aku melakukannya.

"Kamu mau lari dari masalah ini?!"

"Mas, kaki gue keseleo. Jalan aja susah, apalagi lari."

Aku sudah seperti orang gila bukan? Menanggapi orang yang mabuk, menjawab setiap pertanyaan yang ia keluarkan.

"Kamu tidak memikirkan anak kita?!" ucap Mas Hardi semakin ngawur.

"Gue belum pecah telor. Belum bisa atau mungkin gak bisa hamil! Puas lo?! Anjir buat gue emosi mulu! Makanya lain kali minum air putih kasih es batu aja, sok-sokan minum amer. Gue bilangin Mak Jena, nyaho lo!" omelku padanya. Ia malah tertawa.

Dih, gila.

Sesudah tawanya reda. Tubuhnha limbung menimpaku. Aku berpegangan meja dekat pintu masuk. Aku menepuk pipi Mas Hardi. Matanya terpejam tapi mulutnya masih aktif mengeluarkan umpatan untuk Nadira.

Sweet Husband [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang