Dua Puluh

36.1K 2.4K 105
                                    

Sita masih terpaku di tempat. Ketika ia sudah tersadar dari keterpakuannya, Sita mengambil tangan Adrian yang masih berada di atas kepalanya, menyatukan jari-jarinya di sela-sela jari Adrian. "Aku mau nikah sama Mas. Bantu aku untuk tau rasanya mencintai yang sebenarnya ya Mas."

"Ya, Mas janji."

Sita beranjak dari duduknya, dengan tidak tahu malunya ia duduk di paha Adrian dan memeluk leher pria itu. "Makasih ya Mas."

Adrian melonggarkan pelukan mereka. Ia mendekatkan wajahnya dengan Sita dan mulai mencium bibir Sita yang sudah menjadi ganja untuknya, wanita itu memejamkan mata––menikmati apa yang dilakukan Adrian saat ini. Lidah Adrian masuk lebih dalam, mengabsen gigi di dalam mulut Sita. Lidah mereka saling membelit, meluapkan perasaan masing-masing melebur menjadi ciuman yang memabukkan.

Adrian melepas ciuman mereka, membiarkan Sita mengisi paru-parunya dengan oksigen. Adrian memandang Sita dalam, tangannya mengusap pipi Sita yang merah seperti tomat. Adrian baru akan mendekatkan kepalanya lagi, berniat untuk melanjutkan ciuman mereka––namun suara dering telepon ponselnya menginterupsi.

"Angkat dulu aja Mas. Siapa tau penting."

Adrian mengangguk, ia merogoh saku dalam jasnya. Mengeluarkan ponsel yang sudah bergetar, Sita ingin menyingkir dari paha Adrian tapi laki-laki itu menahan Sita tetap pada tempatnya.

"Hallo El. Kenapa?"

"Abang kemana aja? Katanya mau ketemu Papah. Kok malah kelayapan."

"Abang ada urusan sama Sita. Ada yang penting?"

"Ini rumah yang baru dibeli Papah gimana? Elle pulangnya ke kontrakan Laras."

"Biarin dulu aja. Kamu cuma mau bilang itu kan? Ya sudah, Abang tutup ya?"

"Satu lagi Bang, jangan di tutup!"

Adrian menghela napas lelah. "Apa lagi?"

"Papah tadi WhatsApp Elle, kalau dia besok perjalanan ke Jogja. Abang suruh diam di rumah baru Papah aja, nanti Elle nyusul sama Laras."

Klik. Sambungan telepon ditutup sepihak oleh Adiknya. Sita yang melihatnya pun menekuk dahi. "Ada masalah Mas?"

Adrian menggeleng, ia mengecup pipi Sita. Untuk beberapa jam ke depan mungkin Adrian akan aman, tepatnya sebelum Ayahnya datang. Ia mengelus rambut Sita, wanita itu kembali memeluk Adrian. Sita meletakkan kepalanya ia letakkan di pundak lebar Adrian.

*****

"Ini rumah siapa Mas?"

"Rumah Papa yang baru. Papa bakal ngembangin bisnisnya yang di sini, jadi dia pindah."

"Terus Elle?"

"Setelah lulus S1, Elle bakal pindah ke sini juga. Sementara dia di Singapura dulu."

"Kok Elle gak balik ke Singapura? Emang liburnya masih lama?"

"Itu udah diurus Papa. Ayo masuk." Adrian mendorong pintu rumah di depannya. Rumah yang cukup besar, di dalamnya belum terlalu banyak barang. Hanya sofa, meja makan, dan kamar-kamar yang terdapat satu ranjang bersih. Rumah ini benar-benar terlihat baru.

"Bagus ya Mas."

"Hm."

Sita berjalan menuju dapur, biasanya orang meletakkan sapu atau alat bersih-bersih lainnya di sana. Dugaan Sita benar, sapu, pel, kain lap dan kawan-kawannya berada di dekat dapur. Ia mengambil kemoceng dan sapu, lalu Sita berjalan kembali ke ruang tengah.

"Kamu mau ngapain?" tanya Adrian dengan dahi mengernyit.

"Menurut Mas aku lagi ngapain?"

"Nyapu."

Sweet Husband [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang