Sita tidak pernah membayangkan hari ini harus berhadapan dengan Mr. Bima. Bagaimana laki-laki ini bisa tau tempat tinggalnya sekarang? Apakah dari Mr. Aland, atau mungkin Adrian?
Itu berarti Adrian sudah tahu dimana keberadaan dirinya saat ini. Tapi kenapa Adrian tidak mengunjunginya dan malah—
"Ternyata benar ini tempat tinggal kamu Nak. Gak sia-sia Ayah ikutin kamu dari supermarket tadi."
Dari jawaban Mr. Bima. Dapat Sita simpulkan. Adrian belum tahu keberadaannya. Huh, syukurlah.
"Untuk apa Ayah repot-repot datang ke sini?" tanya Sita datar.
"Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan kamu."
"Tidak perlu. Aku gak mau dengar apapun dari Ayah."
Sita bergerak menutup pintu, namun Mr. Bima sebisa mungkin menghalangi Sita melakukannya.
"Sebenarnya mau Ayah ini apa?! Uang?!" suara Sita meninggi.
Mr. Bima menggeleng.
"Lalu apa?!"
"Ayah mau minta maaf Ta."
"Minta maaf?" Sita tertawa garing. "Percuma." Sita membuka pintu lebih lebar. "Maaf gak bisa menyembuhkan apapun kalau gak ada perbuatan. Sita sama sekali gak butuh atau mengharapkan maaf dari Ayah. Mungkin kalau Ayah bilang seperti ini dulu, saat Sita masih SMA. Sita pasti akan maafkan Ayah. Tapi Ayah bilang ini baru sekarang. Ayah berharap apa? Sita maafkan Ayah? tidak."
Mata Mr. Bima berkaca-kaca. Berbanding terbalik dengan Sita yang menatap pria tua itu datar.
"Ayah akan melakukan apapun untuk kamu Nak. Supaya kamu mau memaafkan Ayah."
"Walaupun Sita meminta Ayah turun dari lantai ini lewat balkon. Apa Ayah akan menuruti Sita?" tanya Sita balik.
Mr. Bima diam. Tidak tahu harus menjawab apa lagi.
"Sita memanggil Ayah dengan sebutan Ayah, bukan berarti Sita masih menganggap Ayah adalah orang tua Sita. Ayah sudah kehilangan Sita dari Ayah mengusir Sita setelah Sita lulus kelas dua belas. Ayah tidak pernah menganggap Sita ada."
Jeda beberapa menit. Sita berdiri di posisinya, tidak bergerak sama sekali. Ia mendengar suara pintu lift terbuka. Seorang wanita paruh baya keluar dari sana.
Sita menghembuskan napas lelah. Ya Tuhan, banyak sekali ujian hari ini. Kesalnya dalam hati.
"S-sita." wanita itu terbata-bata saat mengucapkan namanya.
"Untuk apa kalian berkumpul di sini? Apa kalian tidak tau kedatangan kalian ini sangat menganggu?" sahutnya ketus. "Apa tidak cukup semua yang Sita terima sampai-sampai kalian datang ke sini untuk mengacaukan semuanya? Itu tujuan Mama kan? Mama pengen lihat Sita kacau? Karena Sita tau Mama itu gak suka lihat Sita senyum sedetikpun."
Tertangkap jelas di mata Sita, Mrs. Jena berkaca-kaca. Sama seperti Mr. Bima. Namun yang air mata yang dikeluarkan oleh dua orang di hadapannya ini tidak mampu mengubah apapun. Sita tidak bisa luluh begitu saja hanya dengan satu permintaan maaf.
"Maafkan Mama Nak. Mama tau selama ini Mama salah."
"Baru sadar?" balas Sita sarkas. "Sita gak tau apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba dua orang yang gak mengharapkan Sita hidup datang ke sini untuk minta maaf. Sita gak tau apa motif kalian."
"Mama dan Ayah benar-benar minta maaf Ta." ucap Mr. Bima membuka suara.
"Sita capek. Sita mau istirahat. Kalian bisa pergi."
Mrs. Jena mengambil tangan kiri Sita lalu menggenggamnya. "Sita. Mama mohon. Maafkan Mama."
"Apa dengan Mama minta maaf bisa ngubah segalanya? Enggak. Sejujurnya orang yang paling Sita benci itu adalah Mama. Kalau Mama gak menggoda Ayah. Orang tua Sita gak bakalan berpisah! Dan, apa Mama tau rasanya di perlakukan seperti pembantu di keluarga sendiri? Apa Mama tau itu ha?!" teriak Sita di depan wajah Mrs. Jena.
Sita tahu perbuatannya ini sangat tidak sopan. Tapi rasa yang ia pendam bertahun-tahun keluar begitu dan menghasilkan rangkaian kata yang cukup membuat hati meringis perih.
"Mama pernah makan makanan sisa kemarin? Pernah? Dulu Mama sering kasih makan Sita makanan sisa atau yang lebih parah makanan basi. Pernah Mama makan makanan basi?" Mrs. Jena terisak di depan Sita. "Nasi yang sudah tidak layak makan binatang. Masih Mama kasih ke Sita. Itu yang patut disebut Mama?"
"Daridulu Sita merenung. Apa salah Sita. Kenapa kalian sebegitu bencinya sama Sita. Sekarang Sita masih bingung. Yang kalian lakukan dulu itu atas dasar apa?"
"Mama—"
Sita menepis tangan Mr. Jena. "Apa karena Sita menantu konglomerat Indonesia? Atau Suami Sita adalah pemilik hotel terbesar dan terpopuler di Indonesia?"
"Tidak Sita. Bukan karena itu." sela Mr. Bima cepat.
"Apapun alasan kalian. Sita gak perduli. Sebaiknya kalian pulang ke Jakarta. Hidup berdua tanpa ada pengganggu."
Tanpa babibu Sita menutup pintu tepat di depan Mr. Bima dan Mrs. Jena. Sita menguci pintu, mengabaikan ketukan pintu Mr. Bima. Ia berjalan masuk ke dalam kamar. Sita memeluk gulingnya erat.
Semudah itu mereka meminta Sita melupakan semua perbuatan mereka padanya. Sita ini manusia biasa. Ia punya hati. Mau mereka tetap di sana sampai subuh. Sita tidak akan berpikir untuk membuka pintu.
Kertas yang sengaja di sobek tidak akan kembali seperti semula walau kamu melakukan segala cara untuk membuat kertas itu kembali menyatu. Pasti akan ada bekas yang nampak jelas terlihat.
Masa remaja Sita tidak terlihat sebahagia yang orang lain kira. Masa remaja Sita adalah trauma tersendiri untuknya. Dan yang sempat Adrian lakukan padanya, mengingatkan Sita pada Mr. Bima dan Mrs. Jena.
Sita takut salah memilih pasangan. Laki-laki yang dipilihnya ternyata sama dengan Ayahnya.
*****
"Sita dari tadi gue telfon gak bisa Ras. Kemana ya dia?" tanya Elle pada orang yang ia hubungi lewat vidio call.
"Gak tau juga gue. Akhir-akhir ini Sita gak pernah chat atau ke kosan gue."
"Gue ngerasa ada yang janggal. Bang Adrian juga gue telfon gak aktif nomornya." Elle memperlihatkan pada Laras, daftar panggilan tiga hari belakangan ini.
"Apa mereka lagi baby moon ya El? Bisa aja loh. Kita harus positif thinking."
"Gue bukannya gak mau positif thinking. Tapi Bang Adrian itu nelfon gue tanya keberadaan Sita dimana. Dari suaranya, Bang Adrian panik banget. Gimana gue mau posthink?"
"Siapa tau Bang Adrian tanya ke lo karena gak ketemu sama Sita di sekitar rumah. Lo tau sendiri, sebelum pergi kemana-mana itu bocah pasti lari ngalor-ngidul."
"Tapi Ras—"
"Udah deh El. Bang Adrian bucin akut. Gak mungkin dia ada apa-apa sama sahabat kita. Lo gak percaya sama Abang lo sendiri?" ucap Laras memotong ucapan Elle.
"Gue percaya. Tapi, lo ngerti lah, gue cuma takut Sita kenapa-napa. Dia udah kayak Adik gue sendiri."
"Sita dan Bang Adrian perlu waktu sendiri buat nyelesain masalah rumah tangga mereka. Lo gak perlu ikut campur El. Rumah tangga kalau perjalanannya semulus pantat bayi, rumah tangga itu gak bakal bertahan lama."
Elle mengangguk paham. Bukan mau Elle berpikir hingga ke sini. Tapi kejadian beberapa hari ini mau tidak mau membuatnya terus berpikir. Ibunya Sita sudah menitipkan Sita padanya. Secara tidak langsung Elle adalah Kakak Sita walau Sita Kakak iparnya. Namun sahabatnya itu mudah sekali tersinggung. Elle khawatir terjadi sesuatu pada Sita.
"Besok gue cek di rumahnya Abang lo. Sekalian ngecek Sita ada atau enggak."
"Tolong lihatin mereka baik-baik aja atau gak ya Ras. Dari kemarin perasaan gue gak enak."
Laras mengangguk. "Iya."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Husband [END]
Romance[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Sita rasa hidupnya sudah cukup bahagia karena di hidupnya sudah ada kedua sahabatnya dan Rian, pria yang sangat mencintainya dan dicintainya. Tidak mudah mendapatkan kepercayaan Sita, gadis itu dikenal sangat...