Empat Puluh Dua

25K 1.8K 33
                                    

Mata Adrian menatap gedung pencakar langit di hadapannya. Tangannya masih menggenggam ponsel, meremas ponsel itu saking gugupnya. Kakinya melangkah masuk ke dalam dan mencari unit yang di huni istrinya.

Kaki Adrian mengetuk lantai berulang kali tanda ia dilanda kegugupan berlebihan.

Ting!

Suara lift terbuka membuyarkan lamunan Adrian. Ia melangkah ke unit yang ditempati oleh Sita. Tangannya terangkat ke udara untuk menyentuh bel apartemen Sita.

Saat pintu perlahan terbuka, Adrian dapat melihat penampakan seorang wanita. Wanita itu memandangnya dari atas sampai bawah, lalu kembali pada wajah Adrian.

"Siapa ya?" tanya wanita itu.

"Saya Adrian. Benar ini unit milik Natalia Sita?"

"Betul. Tapi Ibu sedang tidur sekarang."

Adrian menghembuskan napas panjang. "Boleh saya masuk? Saya ingin bertemu Sita."

Wanita itu bergeming sejenak. Ia menoleh ke belakang untuk berpikir sebentar. "Emang Bapak ini siapa? Saya tidak diijinkan Pak Aland membawa sembarang orang masuk ke dalam apartemen ini." jelasnya panjang lebar.

"Saya Suami Sita. Kedatangan saya ke sini untuk mencari Istri saya."

Wajah wanita paruh baya di hadapannya berubah kaget. Wanita itu segera membuka lebar pintu apartemen Sita. Kalau saja ia tau bahwa Adrian itu Suami majikannya, sudah ia bawa masuk Adrian sedari tadi.

"Maaf Pak. Saya tidak tau."

Adrian mengangguk paham. Ia masuk ke dalam unit Sita, melihat-lihat tempat yang ditinggali istrinya. Tempat ini nyaman namun terkesan dingin dan sepi.

"Saya bangunkan Ibu, Pak?"

"Tidak usah. Saya akan menunggu Sita bangun." tolak Adrian halus.

"Tapi saya sepuluh menit sudah harus pulang Pak."

"Ya, anda bisa tinggalkan saya."

Wanita itu mengangguk. Dia berjalan ke arah dapur, mengambil tasnya di meja makan apartemen Sita. Sebelum pergi, ia berpamitan pada Adrian. Setelah mendapat anggukan dari pria itu, wanita paruh baya itu keluar dari unit Sita.

Adrian menelusuri apartemen istrinya. Tidak ada apapun yang mencolok dari tempat ini, hanya ada sebuah amplop yang mampu membuat Adrian terhenti. Ia mengambil amplop itu dan membuka. Sebuah foto USG terpampang jelas di hadapannya. Tanpa sadar mata Adrian berkaca-kaca melihat foto tersebut. Bayinya.

Rasa bersalahnya semakin menumpuk, ia tidak dapat menemani Sita saat istrinya dengan check up kandungan. Ia masih memandang sendu gambar di tangannya hingga sebuah suara menginterupsi.

"Taruh kembali foto itu." suara datar itu terdengar di balik tubuh Adrian. Ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara. "Untuk apa kamu ke sini?"

Hati Adrian mencelos sakit. Sita tidak lagi memanggilnya Mas, namun sudah berganti dengan kata 'kamu'.

Perlahan pria itu mendekat pada Sita. Tapi wanita itu mundur beberapa langkah menghindari Adrian. "Ta."

"Pergi dari sini." ucap Sita dingin.

"Mas mohon dengerin—"

Sebuah piring plastik melayang ke arahnya. Namun Adrian menghindar cepat. "PERGI! PERGI! PERGI!" Sita terus melempar apapun barang di dekatnya ke arah Adrian.

Air mata wanita itu luruh. Ia berjalan menjauh dari Adrian, menggapai ponselnya lalu memegang ponselnya erat.

"Sudah?" Adrian mengambil sikap siaga. Merasa Sita tidak lagi mengamuk, ia mencoba mendekat walau masih menjaga jarak. Bahkan melihat tatapan takut Sita padanya, Adrian ingin membunuh dirinya sendiri sekarang.

Sweet Husband [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang