AYO BANTU SUPPORT AUTHOR!
JANGAN LUPA VOTE END VOMEN.-o0o-
Garpa sontak menoleh melihat tatapan Adira yang menyiratkan luka mendalam.
"Enggak ada yang bisa gue harapan dirumah itu, canda tawa udah lenyap semua. Keluarga bahagia? Cuma kisah dari negri dongeng yang gak pernah terjadi di kehidupan nyata."
Garpa tertegun bibirnya seakan akan terkunci rapat. Matanya tetap fokus memandang gadis disampingnya yang tampak kacau.
Ia tak tau harus melakukan apa. Yang hanya Garpa lakukan saat ini hanyalah mendengarkan semua keluh kesah Adira tentang lukanya.
"Gue enggak tau harus gimana lagi," sela Adira sambil menyekat air matanya.
Adira menatap kearah Garpa, "Gue lemah ya?"
"Gue lemah, gak ada yang mengharapkan gue di dunia, gue cuma luka buat Mama gue. Jangankan orang lain, Papa gue aja gak pernah berharap gue ada."
"Alasan lo masih duduk disini karna diri lo sendiri, Ra. Lo masih bertahan sampe saat ini adalah bukti kalo lo emang sekuat itu," ujar Garpa.
Tangannya terulur memegang kedua pundaknya Adira yang semakin bergetar, sebelah tangannya ia ulurkan kebelakang punggung rapuh tersebut.
Menariknya, merangkulnya perlahan memberikan kekuatan untuk gadis tersebut. Tangis Adira semakin jadi, ia mengeluarkan semua isak tangisnya.
"Berhenti nyalahin diri lo sendiri, Ra. Gue yakin ini akan segera berakhir, luka lo bakal segera sembuh. Tinggal menunggu waktu."
Garpa mengusap surai hitam Adira, bagaimana bisa gadis di pelukannya selama ini diam memendam lukanya sendiri.
Garpa merasakan semakin lama kepala Adira semakin terbenam di dadanya. "Ra?" panggil Garpa sambil berusaha melihat wajah Adira.
Adira teryata terlelap dalam pelukan hangat Garpa, hidung yang memerah seperti badut dan kelopak matanya yang sedikit bengkak tapi tak mengurangi kadar kecantikannya. Hal itu malah menambah kesan imut dimata Garpa.
"Enak ya di peluk cogan, sampe ketiduran gini." Kekeh Garpa setia memerhatikan wajah Adira yang tertidur.
Garpa memerhatikan sekitar mobilnya, harus ia bawa kemana Adira? Ia tak mungkin membawa Adira kerumah lamanya. Membawa Adira kerumahnya? Mungkin itu bukan ide yang buruk.
Garpa meletakkan perlahan kepala Adira kesandaran kursi mobil merasa sudah cukup aman dan nyaman ia kembali melajukan mobilnya.
-o0o-
Seren mengusap sebuah bingkai yang sangat berarti di hidupnya. Sebuah pasangan yang saling bertukar cincin dimana setelahnya Seren sudah terikat oleh sang suami.
Ia tak menyangka pernikahan yang ia pertahankan beberapa tahun selama ini tandas di tengah perjalanan.
Masih sibuk merenungi kisah, kenangan mereka selama ini tiba-tiba dering handphone mengalihkan lamunan sang pemilik.
Nama laki-laki yang ia renungi terpapar jelas di layar tersebut. Menghela nafas pelan, ia menyentuh tombol layar berwarna hijau.
"Assalamualaikum," ujar Seren pertama kali. Tak ada sahutan dari seberang sana membuatnya kembali melihat ke layar handphone. Panggilan tersambung tapi mengapa Zaim tak bersuara.
"Kamu yakin dengan keputusan kamu?" ujar Zaim di seberang sana.
Seren kembali menghela nafasnya, bahkan suaminya tak lagi menjawab salamnya. "Jawab salam dulu mas,"
"Waalaikumsalam, bagaimana?" tanyanya langsung.
"Ya, seperti kepuasan mu." Putus Seren, ia akan berserah bagaimanapun pilihannya.
"Menunggu keputusan ku?" hening sejenak setelah Zaim menanyakan hal tersebut.
"Kita masih bisa perbaiki, jika kamu mau." Seren mendengar dengan baik, apa katanya memperbaiki? Kenapa seolah-olah Zaim tak rela dengan perceraian mereka.
"Kenapa?" kini giliran Seren bertanya.
Zaim tak langsung menjawab ia tampak menimang-nimang jawaban untuk pertanyaan calon mantan istrinya, ingatkan calon.
"Seperti ucapan ku terakhir kalinya, Adira juga butuh sosok Papa walaupun selama ini aku tak pernah perduli."
"Status Papa menurutku cukup untuknya." Zaim mengucapkan tanpa ada beban.
"Sialan! Anak ku tak butuh status Papa biadab seperti mu." Amarah Seren tersulut saat Zaim diam-diam meremehkan mereka.
"Ingat Seren, dunia ini kejam. Status, jabatan dan uang sangat di pandang di negeri ini." Seren dapat mendengar kekehan dari seberang sana.
"Bagaimana?"
Seren tak menjawab hati dan otaknya bertolak belakang. Nyatanya apa yang dikatakan Zaim sepenuhnya benar. Status, jabatan dan uang sangat berpengaruh. Bahkan sering kali kejujuran kalah dengan uang.
"Oke, aku beri waktu untuk berpikir. Bukankah harusnya kau berterimakasih atas kebaikan ku? Aku masih memikirkan nasib kalian."
"Pikirkan anakmu, ia butuh status itu." Setelah mengatakan itu panggilan telepon terputus sepihak. Tubuhnya terasa sangat lemas, mana yang harus ia pilih.
Cerai? Bolehkah, bagaimana perasaan Adira. Ia tahu dalam lubuk hati terdalam gadis tersebut ia sangat menyayangi Papanya, buktinya ia rela belajar pagi hingga malam demi memenuhi ekspektasi sang Papa.
Tapi ia sudah tak kuat dengan laki-laki yang menjadi Papa dari anak gadisnya, semakin lama ia merasa semakin tak mengenal Zaim. Berawal dari ambisinya yang memiliki anak laki-laki, selalu menekan Adira dengan pelajaran, hingga perselingkuhan.
Tidak peduli jika pada akhirnya kita berakhir dan tidak bisa lagi bersama. Setidaknya, bersamamu aku pernah merasakan masa-masa paling indah yang terdapat aku didalamnya, masa-masa bahagia yang tidak akan pernah aku lupa. Mungkin akan terganti, tapi tidak akan pernah aku sesali.
-o0o-
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadira
Teen Fiction"Kita mungkin sama terlahir di dunia dengan telanjang tapi jalan hidup dan takdir kita pasti tak akan pernah sama." Adira gadis yang tak pernah ingin terlahir di dunia, orang tuanya selalu mendesaknya dengan tuntutan nilai yang tertulis di atas sele...