Pernahkan kalian membuat rencana tapi hanya berujung wacana? rencana yang sangat indah bahkan hanya dengan membayangkannya dapat membuat kebahagiaan tersendiri, tapi sayang rencana itu hanya melebur menjadi wacana.
"BARU LULUS SMA SUDAH INGIN TUNANGAN! MAU JADI ANAK APA KAMU!?"
Adira setia menundukkan kepalanya tak berani menatap pria yang berdiri tegap didepannya. Mendengarkan semua amukan sang Papa.
Zaim menghembuskan nafasnya dalam-dalam, mengatur emosinya yang masih memburu.
"Apa alasan laki-laki itu mengajak mu bertunangan?" tanya Zaim.
"Gar-Garpa gak mau Adira sedih lagi, ia mau selalu ada buat Adira," cicitnya takut terdengar alay. Mungkin bagi orang lain memang alay tapi bagi Adira hal yang tak pernah ia dapatkan.
"Omong kosong!" ujar Zaim pedas.
"Papa mu saja tak menginginkan mu apalagi laki-laki itu?" tanyanya diakhiri kekehan meremehkan.
Adira menaikan tatapannya dari lantai, menatap nanar ucapan Papanya yang langsung menusuk ke batinnya.
"Benar bukan?" Zaim menaikkan sebelah alisnya.
"Kenapa dari dulu Papa enggak bunuh Adira langsung aja? kenapa malah membiarkan mala petaka mu ini hadir?" tanyanya dengan suara tertahan.
"Mama mu," dua kata itu cukup membungkam Adira. Ia terkekeh miris meratapi nasibnya ia kira kemarin adalah akhir dari lukanya teryata tidak.
Kenapa seakan akan tuhan tak membiarkan ia bahagia, masalah trus silih berganti mendatangi dirinya.
"Apa mau Papa?" tanya Adira pasrah.
"Mau Papa? Minggu depan kamu akan pindah keluar negeri melanjutkan kuliah disana."
Adira lagi-lagi dibuat tak percaya dengan kemauan Papanya, melanjutkan kuliah di luar negeri yang artinya ia akan meninggalkan Garpa.
"Enggak ada yang lebih sulit? Hanya itu?" tanya Adira beruntun.
"Sanggup?" tantang Zaim. Tampa menjawab pertanyaan papanya harusnya beliau tau sanggup tak sanggup ia pasti akan melakukannya karna menolak pun percuma.
Adira mengunci dirinya dalam kamar tubuhnya terasa tak memiliki tenaga lagi bahkan menangis pun ia sudah tak sanggup.
Garpa laki-laki yang terlalu baik untuk dirinya, laki-laki itu ingin menyembuhkannya luka pada dirinya tapi nyatanya ia sendiri yang memberikan luka laki-laki sebaik Garpa.
"Sungguh tak tau diri kau Adira," makinya pada dirinya sendiri.
-o0o-
"Ngapain lo? kaya laki yang gak dikasih jatah sama bini aja," sindir Damian melihat tingkah sahabatnya yang uring-uringan sendiri.
"Diem gue lagi pening," ketus Garpa.
"Mikirin mas kawin?" tanya Damian lagi semakin hari ia semakin gencar menggoda sahabatnya itu apalagi mendengar cerita bahwa ia melamar seorang gadis.
Primitif! Seperti pesona dunia laut.
Sampai akhirnya Garpa menyerah ia melempari handphone miliknya membuat Damian sontak menangkapnya.
"12 jeti, bro!" batin Damian mengelus dadanya.
Damian melihat ke arah layar handphone yang masih menyala menampilkan beberapa panggilan yang tak terjawab.
Nama Adira jelas terpampang di layar tersebut, membuat Damian menggulum senyumnya. Gelisahnya Garpa membuktikan seberapa besar rasanya pada gadis bernama Adira.
"Kemana bini lo?" tanya Damian.
"Kalo gue tau juga gak bakal gue telpon," ketus Garpa.
Damian menganggukan kepalanya, "btw lo udah izin sama bokap Anan?" tanya Damian kemudian.
"Belum, Adira minta ke gue dia sendiri yang bakal bilang setelah itu baru gue,"Garpa menghembuskan nafasnya ia sangat tak setuju dengan ide Adira yang menahannya untuk bertemu dengan Papanya ia merasa bukan laki-laki yang gantle.
"Gue gak paham sama pola pikir dia," gumam Garpa.
"Mungkin dia gak mau lo kena marah bokapnya," ujar Damian.
"Tapi itu ngebuat gue seakan-akan seorang pengecut," Garpa menggertakan giginya.
"Positif tinggking aja," ujar Damian mengakhiri percakapan mereka yang mulai tak mengenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadira
Teen Fiction"Kita mungkin sama terlahir di dunia dengan telanjang tapi jalan hidup dan takdir kita pasti tak akan pernah sama." Adira gadis yang tak pernah ingin terlahir di dunia, orang tuanya selalu mendesaknya dengan tuntutan nilai yang tertulis di atas sele...