-o0o-
"Assalamualaikum Bun," menjelang magrib Garpa baru saja pulang dari bengkel.
"Garpa! Kemana aja kamu baru pulang!?" Bunda Garpa menatap tajam sang anak.
"Kan dari bengkel, Bun," ucap Garpa.
"Kenapa lama kan Bunda suru anterin aja bukan suruh nungguinn," Cinta berkacak pinggang.
Garpa memejamkan matanya, "Salah lagi."
"Bunda ga bilang," ujarnya.
"Tadi Bunda bilang apa? anterin motor bibi ke bengkel bukan tungguin motor bibi," ucap Cinta.
Garpa mendengus ia tau Bundanya mencemaskan dirinya, "Iya Bunda maaf, intinya sekarang Garpa sama motor bibi selamat wal'afiat."
Setelah itu Garpa mengecup pipi sang Bunda agar meredakan marahnya, "Handpone dibawa kalo pergi, jangan di tinggal-tinggal."
"Lupa Bunda," ucap Garpa memberikan pengertian pada sang Bunda.
"Kamu hobinya buat orang khawatir," ujar sang Bunda di balas kekehan orang Garpa.
"Garpa, mau bersih-bersih dlu Bun udah lengket badanku." Garpa berjalan menuju kamarnya tiba-tiba kakinya berhenti tampa komando.
Melihat gadis yang tertidur pulas dengan mata dan hidung merah, Garpa menoleh pada Bundanya yang berdiri dibelakangnya.
"Kenapa dia Bun?" tanya Garpa heran.
"Habis nangis, udah jangan di ganggu." Peringat sang Bunda.
"Nangis kenapa Bun?" tanya Garpa lagi-lagi.
"Kepo kamu," kekeh sang Bunda.
"Bunda habis ramal ya," tudung Garpa tepat sasaran.
"Ramal-ramal kamu kira Bunda dukun!" ujarnya.
"Sejenis itu." Ujar Garpa mendapat pukulan pada lengannya.
Cinta tersenyum melihat Adira lalu beralih ke pada anaknya Garpa, "Dia kaya Bunda dulu, dia gadis yang kuat."
Garpa menggerutkan dahi tak paham, "Kaya Bunda?"
"Tekanan batin, stres, dan ada luka yang tersirat dalam matanya." ujar sang Bunda dengan suara khasnya sebagai psikolog.
"Setau Garpa, dia engak gitu cerita-cerita aja." Ucap Garpa mengatakan apa yang ia ketahui selama ini.
"Kamu gatau, dari luar fine-fine aja siapa tau bentuk di dalamnya?" kekeh sang Bunda.
"Gatau Garpa bukan cenayang."
"Jangan di ganggu! Bunda lanjut ke dapur." Peringat Cinta lalu beranjak ke dapur.
Garpa menoleh pada Adira yang tertidur pulas mendekat lalu menyamakan dirinya dengan Adira.
Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya dengan mata sembab hidung merah membuat Garpa terkekeh.
"Badut." Ejeknya.
Ia mengusap kening Adira yang mengerut dalam tidurnya seperti orang sedang berpikir, "Tidur aja masi mikir." Jenggah Garpa.
Garpa beranjak menuju kamar mengambil selimutnya memakaikan pada tubuh mungil Adira, "Selamat istirahat, cantik."
-o0o-
Adira menggeliat membuka matanya perlahan mengumpulkan nyawanya yang masi belum utuh bau maskulin tercium membuat Adira heran.
Dengan keadaan sayup-sayup matanya melihat selimut yang menutupi tubuhnya."Ngigo keknya gue."
"Bangun lo," suara tersebut membuat Adira kembali membuka matanya.
"Amnesia, eh?" Garpa kembali pada dirinya yang menyebalkan.
Adira menyibak selimut yang di tubuhnya, "Jam berapa?"
"Tuh," Garpa menunjuk dengan dagunya.
Adira terkejut melihat jam yang menunjukan pukul 18.54, "Kok lo ga bangunin gue," kesal Adira.
"Lo tidur udah kaya orang mati suri," ujar Garpa santai sambil memakan camilan di toples.
Adira memincingkan matanya pada Garpa, "Bunda lo mana?"
"Pergi," jawab Garpa.
"Gue pamit pulang, salam buat Bunda lo bilang makasih dari gue," ujar Adira panjang membuat Garpa menoleh.
"Oke, gue sampein ke calon mertua lo," ucap Garpa.
"Ha?" tanya Adira tak paham.
Garpa menggelengkan kepalanya dengan senyum yang semakin membuat Adira bingung.
"Gue balik," ujar Adira lalu meraih tas sekolahnya.
"Gue anter," ucap Garpa tak menerima tolakan.
Selama di perjalanan tidak ada yang membuka suara baik Garpa ataupun Adira hanya suara mesin mobil yang menyelimuti keduanya.
Sampai di depan rumah berwarna hijau mobil Garpa berhenti, "Sampe," ucap Garpa menyadarkan Adira.
"Thanks,"
Adira hendak membuka pintu mobil bersamaan dengan bunyi handpone yang berada di sakunya.
"Halo Pa," ujar Adira mengangkat telepon Papanya.
"Papa denger besok bakal ada lomba disekolah, kamu harus ikut serta Papa gamau tau," ujar di sebrang sana membuat Adira menyimpulkan senyumnya.
"Lomba apa Pa?" tanya Adira mengulur waktu agar bisa berbicara dengan ayahnya.
Pasalnya jika bukan tentang pelajaran seperti ini papanya jarang sekali berbicara dengannya. "Agak sedih."
"Kamu lihat sendiri, nanti papa kirimkan." Setelah itu panggilan terputus sepihak membuat Adira menatap nanar layar persegi panjang tersebut.
Garpa yang berada di sampingnya mengusap punggung Adira walaupun ia tidak tau jelas apa yang anak dan ayah itu bicarakan tapi ia merasa pembicaraan yang cukup tidak menyenangkan.
Adira menoleh merasakan usapan di punggung nya mata mereka beradu seakan akan berbagi cerita lewat tatapan tersebut.
"Kamu pasti bisa!"
-o0o-
TBC
SPAM NEXT DISINI BUNDS
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadira
Teen Fiction"Kita mungkin sama terlahir di dunia dengan telanjang tapi jalan hidup dan takdir kita pasti tak akan pernah sama." Adira gadis yang tak pernah ingin terlahir di dunia, orang tuanya selalu mendesaknya dengan tuntutan nilai yang tertulis di atas sele...