Gadira [part15]

229 68 42
                                    

Kamu bisa menutup mata untuk sesuatu yang tidak ingin kamu lihat, tapi kamu tak kan bisa menutup hatimu untuk sesuatu yang tak ingin kamu rasakan.

-o0o-

Adira setia mengusap punggung Garpa yang masi bergetar memberikan ketenangan ia mendengarkan segala kesedihan Garpa.

Percayalah nggak ada orang yang benar-benar kuat nggak ada orang yang benar-benar tangguh. Dia juga butuh teman, tempat buat mencurahkan seluruh kesedihannya.

Setelah dirasa cukup Garpa menghentikan isaknya menarik nafasnya dalam-dalam ia tak ingin terlihat lemah.

"Selamat hari ayah." Ucap Garpa.

"Maaf Garpa enggak bawa apa-apa kesini," lirihnya.

"Happy and calm by his side, dad."

Adira tersenyum simpul membantu Garpa bangkit, "Gue enggak apa-apa." Ujar Garpa.

Adira mengganguk mengucapkan salam perpisahan pada nisan ayah Garpa. Kemudian menyusul Garpa keluar dari tempat pemakaman.

Selama di perjalanan tidak ada yang membuka suara, Garpa masi terbawa suasana sedih dan Adira memilih diam memberikan ruang untuk Garpa.

Ditengah perjalanan mata Adira berbinar melihat penjual es krim di pinggir jalan. "MAU ITU!"

Garpa menoleh melihat ke arah yang di tunjuk oleh Adira, "Es krim?" tanya Garpa.

Adira mengangguk dibelakang punggung tegap Garpa yang kemudian sang empu menepikan motornya.

Adira turun dengan antusias mendekati penjualan es krim tersebut, "Mang rasa coklat satu." Pinta Adira.

"Siap neng!"

Garpa melihat dari motornya ke semangat Adira untuk mendapatkan es krim tersebut ia menyunggingkan bibirnya ketika Adira berlari ke arahnya.

"Kek enggak pernah makan es aja lo," ledek Garpa.

"Emang." Aku Adira.

"Udah lama banget, Papa larang gue makan es krim karena katanya bisa buat gendut." Ucap Adira.

"Badan kerempeng gitu bisa gendut?" tanya Garpa.

Adira menatap tajam Garpa yang selalu meremehkannya. "Badan gue ideal, sory."

Garpa terkekeh tak menyahut memerhatikan Adira yang memakan es krim nya dengan lahap. Adira merasa di perhatikan menoleh.

"Mau?" tawarnya.

Garpa menggeleng, "Enggak."

"Coba dulu, ini bisa balikin mood lo tau." Ucap Adira.

"Masa?" tanya Garpa.

Adira yang merasa kesal langsung mencoletkan es krim ditangannya pada bibir Garpa hingga mengenai hidungnya.

Garpa tersentak merasakan dingin di bibir dan hidungnya, "Makan tuh!" ledek Adira.

"Jorok!" ucap Garpa mengusap noda di hidungnya ia merasakan rasa manis di mulutnya.

"Enak kan?" ucap Adira.

"Enak." Aku Garpa.

"Gue beli lagi ya?" tanya Adira.

"Enggak usah nanti lo gendut," ujar Garpa di akhiri kekehan.

"Yaudah." Final Adira memakan es krimnya sendri tak memperdulikan Garpa disampingnya.

Garpa tak menjawab ia tau gadis di sampingnya ini merajuk. Ia melihat seorang anak laki-laki yang membeli es dengan ayahnya.

Pikiran Garpa kembali bercabang pada sang ayah, Adira memerhatikan arah tatapan Garpa.

"Perlahan ikhlas," ujar Adira.

Garpa menoleh, "Berusaha." Kekehnya.

Adira tau tawa yang selama ini menutupi luka Garpa. "Ayah Andreas udah tenang jangan buat dia jadi lebih sakit disana."

Garpa mengangguk, "Thank, gue ngerasa lebih lega."

"Itu gunanya temen!" ucap Adira menepuk pundak Garpa.

Garpa terkekeh ia sebenarnya sudah lama ingin bercerita tentang kesedihannya, membagi luka tapi siapa yang ingin berbagi luka?

Ia bingung mencari tempat dimana ia bisa bercerita. Ingatkan Garpa untuk menghapus rasa gengsi nya yang setinggi langit.

"Sekuat apapun kamu, kamu akan tetap butuh orang lain."

-o0o-

Adira merebahkan dirinya di kasur, "Lelah."

Menatap jam dinding yang terpasang dikamarnya menunjukkan pukul setengah enam hampir magrib. Ia segera membersihkan dirinya tubuhnya terasa sangat lengket hari ini.

Selesai mandi ia sedikit memoleskan bedak di pipinya matanya menatap foto keluarga kecilnya. Menatap foto tersebut lalu beralih melihat wajahnya sendiri di pantulan cermin.

"Mama cantik, Papa tampan, gue? anak siapa si sebenernya."

Adira menatap langit-langit kamarnya, pikirannya bercabang pada kisah yang di alami Garpa.

"Apa papa sakit juga ya? makannya jahat sama aku." Gumam Adira.

Papa, heran Adira selama ini yang menjadi alasan Papanya tidak dekat dengannya hanyalah pekerjaan.

Tapi ia tak tau apakah ada maksud lain papanya menjauhinya apakah murni karna ia tidak cantik, tidak pintar, atau selalu selalu menjadi beban.

"Harta, Tahta, Beban keluarga."

Gadira melirik kalender yang berada di atas nakasnya, seminggu lagi Papa dan Mamanya akan pulang ia akan menanyakan keraguannya.

Memejamkan matanya mengusir pikirannya yang selalu overthinking. Percayalah setiap hal yang berlebihan itu tidak baik.

Dan yang paling menyakitkan adalah ketika kemampuan kita diragukan dan mental kita dijatuhkan oleh orang tua.

-o0o-

TBC

GadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang