Gadira [part37]

149 30 41
                                    

Susah senang nikmati dan syukuri, hidup kita bukan perihal menuhin ekspektasi
orang lain.

-o0o-

"Hubungan gue sama keluarga gak sedamai yang kalian kira," Anan menghembuskan nafasnya terasa amat sulit untuk bercerita tentang luka yang selama ini ia rasa.

"Papa sekarang lebih suka menyendiri, Mama ngerasa bersalah karna perginya Adira sama Mamanya dari rumah,"

"Kami bertiga merasa jadi perusak." Lanjut Anan.

"Bukan salah kalian Nan, mungkin memang takdirnya gini," ujar Damian.

"Salah Papa lo si," ujar Angga membuat kedua laki-laki yang berpikir tersebut menoleh.

"Bukan gitu maksud gue, secara Papa Adira udah ambil keputusan dia juga yang harus tanggung jawab,"

"Apa yang dia perbuat harus dia tanggung jawab." Jelas Angga.

Anan hanya bergumam menanggapi, kepalanya terasa ingin pecah memikirkan keluarganya. Tentang Mamanya yang juga hendak mundur dan Anna yang tetap kekeh mengatakan bahwa ini bukan salah mereka.

"Gue ngerasa bersalah sama Adira," gumam Anan.

"Lo enggak salah," timpal Garpa cepat.

"Tapi dia pergi dari rumah gara-gara kami, Garpa." Anan mendesah prustasi mengigat pertengkaran hebat antara ayah dan anak.

"Gue cukup tau diri, tapi apa boleh gue egois? Gue juga pengen tinggal sama bokap gue." Pintanya entah pada siapa.

"Adira tipe orang yang keras kepala, gue udah pernah bilang kedia buat berdamai dengan keadaan buat bisa nerima kami seutuhnya,"

"Tapi-" Anan tak kembali melanjutkan ucapannya, tapi mereka tau apa yang di pilih Adira. Tentu saja Adira menolak.

"Gak semudah itu berdamai dengan keadaan yang gak pernah ia bayangkan bahkan gak ada dalam skenario Adira."

"Gadis mana yang mau berbagi ayah ataupun membagi kasih sayang ayahnya?"

"Tapi kami juga perlu, Garpa," ucap Anan.

"Gue sama Anna juga perlu Papa, kami butuh bimbingan sosok ayah."

"Jangan mentang mentang lo suka sama Adira, lo selalu ngedukung apapun yang dia pilih. Harusnya dia bisa damai sama keadaan gak harus mempersulit!"

"Gue gak ngebela siapa-siapa disini." Tekan Garpa.

"Buktinya dari tadi lo ngebela Adira," cibir Anan pedas.

Garpa sedikit mengeram, "Kenapa? Ini alasan gue gak mau cerita karna kalian gak akan perduli apalagi Garpa yang suka sama Adira,"

"Padalhan cuma pelampiasan, eh?" cecar Anan.

"Omongan lo terlalu jauh," sergah Garpa.

"Cinta emang buta, sampe-sampe lo milih orang yang baru aja lo kenal dari pada sahabat lo sendiri."

"Udah, Nan." Rerai Damian yang sedari tadi diam, entah hanya ia yang merasa atau teman-teman nya juga mereka seperti baru mengenal sifat Anan saat emosi.

"JANGAN ASAL NGOMONG!" sentak Garpa.

"Tau dari mana lo kalo gue ngebela Adira? Tau apa lo tentang gue? Tau apa lo tentang perasaan gue?" tuntut Garpa.

Anan berdecih, "Harusnya lo kasih tau ke cewek lo, dia harus terima takdir dia harus bisa nerima kenyataan dan harus bisa damai sama keadaan!"

"Udah-udah, masalah gak akan selesai kalo kalian ribut terus," tutur Angga.

"Jangan make emosi," lanjut Angga. Ia melemparkan sebuah botol berisi air dingin pada Anan.

Anan menerima botol yang di lemparkan oleh Angga membuka kasar tutup botolnya meneguknya hingga tandas.

Damian menoleh pada Garpa yang terlihat sedang mengatur emosinya yang hendak meledak.

"Jangan di masukin hati, namanya orang emosi suka lepas kendali."

Garpa tak menyahut tiba-tiba saja ia merasa tak suka saat Anan menjelek-jelekkan Adira, sifat tempramental seketika memuncak.

"Sory, gue ke bawa emosi," ujar Anan.

Damian dan Angga mengangguk kecil berbeda dengan Garpa yang masi tak mau menoleh. Emosinya masih belum sepenuhnya reda ia takut ucapan yang keluar dari mulutnya menimbulkan rasa tak nyaman.

Cukup lama mereka diam tak ada yang membuka suara, memberikan ruang untuk meredamnya emosi.

"Sekarang gimana ayah lo?" tanya Damian membuka suara.

Anan menoleh, "Gak gimana-gimana, bunda ngerasa bersalah sama kepergiannya Adira sama Mamanya sedangkan gue sama kembaran gue sama bingungnya."

"Adira sama Mamanya pergi kemana?"

Anan mengedikkan bahunya, "Gue juga engak tau,"

"Kasian sama Adira," ujar Angga.

"Gue heran sama pemikiran bokap lo," ujar Damian tak paham.

"Apa lagi gue?" Anan tertawa renyah.

"Selama ini gue ralat kami ngerasa selalu diasingkan, tiba-tiba dia dateng dan ngajak kami kerumah istri pertamanya."

"Awalnya gue pikir ini adalah waktu yang gue tunggu selama ini, tapi kenyataannya..."

Damian menepuk pelan pundak Anan, begitu banyak beban yang di tanggung oleh pundak tersebut.

"Gue capek," keluhnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk menangkup wajahnya, begitu banyak cobaan yang harus ia lalui selama ini.

Kapan kebahagiaan yang sesungguhnya datang?
Pergi main sama temen ketawa-ketawa,sampe rumah murung lagi, begitu trus.

Mau sebodoamat gimanapun tetap saja kepikiran. Karena pada dasarnya manusia tidak ada yg benar benar bisa bodoamat, mereka cuma pintar menyembunyikan masalahnya.

-o0o-

TBC

AYO BANTU SUPPORT AUTHOR!
JANGAN LUPA VOMEN NEXT
DISINI

GadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang