Gadira [part34]

145 26 35
                                    

Semua orang bisa punya pasangan, tapi tidak semua orang bisa mempertahankan hubungan.

-o0o-

Adira berdiri tepat di depan pria yang masi sibuk dengan berkas-berkasnya. Ia sudah menunggu sekitar lima menit tapi pria itu tak kunjung bicara.

"Kenapa?" tanya Adira memulai.

"Duduklah, nak." Adira berdecih sejak kapan laki-laki tersebut memanggilnya nak.

Zaim melepaskan kacamata yang ia gunakan, "Duduk," pintanya pada gadis di depannya.

Adira duduk menurut tak ingin berlama-lama disini, "Cepat aku tak punya banyak waktu."

"Sesibuk itu, eh?" ujar Zaim di akhiri kekehan.

"Sejak kapan kau suka basa-basi, Papa." Adira sengaja menekan kata Papa.

"Sejak sekarang," balas Zaim.

"Kenapa? karna kau merasa sebentar lagi aku akan pindah dari sini?" tanya Adira.

"Tidak akan ada yang pindah dari sini." Tekan Zaim.

"Oh ya?" tanya Adira meremehkan yang sudah jelas tak di sukai oleh sang Papa.

"Kenapa kau jadi gadis pembangkang?" ujarnya penuh tanya.

"Tak tau," Adira mengedikkan bahunya tak lagi menatap Papanya yang jelas-jelas sudah memendam emosinya.

"Ingat Adira di depan mu ada Papa mu," tegasnya.

"Ya, hanya Papa biologis." Ucapnya lugas.

Zaim di buat tak percaya apa yang baru saja di katakan oleh anak gadisnya, sebesar itu pengaruh masalah yang beberapa hari ini menimpa mereka?

"Seperti bukan Adira yang saya kenal," ujar Zaim.

Adira menoleh, "Maaf, Adira mana yang anda maksud?"

"Cukup Adira!" ucap Zaim muak dengan drama yang di lakukan anaknya.

"Oke, selesai." Putus Adira hendak bangkit.

"Berhenti." Titah Zaim tak ia perdulikan.

"Berhenti atau Mama mu yang terkena imbasnya." Ancaman Zaim tak main-main membuat Adira menghendaki tangannya yang hendak memutar knop pintu.

Menahan segala emosinya berbalik menghadap laki-laki yang berstatus menjadi Papanya, "Sebenarnya apa mau mu, Papa?"

"Tidak banyak," ujarnya di iringi senyum simpul.

"Apa?" desak Adira.

"Tetap disini."

Adira menaikkan kedua alisnya, "Apa yang membuat mu tiba-tiba selalu mendesak ku agar tetap disini, Papa?"

"Kau anak ku." Hanya itu yang di ucapkan Zaim.

Adira menatap Papanya mencerna ucapannya. Ya Papanya itu selalu berbicara sepatah kata membuatnya harus berpikir keras apa maksud pria tersebut.

"Anan dan Anna juga anak mu," ucap Adira.

"Mereka beda."

Adira mengerutkan keningnya, "Ya, mereka berguna sedangkan aku tidak. Apalagi anak laki-laki mu."

"Apa di pikiran mu hanya ada hal negatif tentang Papa mu ini, Ra?" Adira menoleh saat suara Zaim terdengar melembut.

Ia hanya bergumam sebagai jawaban. Zaim memejamkan matanya memijat pangkal hidungnya.

"Seburuk itu penilaian mu, Ra?" tanyanya.

"Perbuatan Papa sendiri yang ngebuktiin semua itu."

Adira memalingkan wajahnya dari sang Papa jauh dalam lubuk hatinya ia tak tega berbicara seperti itu namun keadaan lah yang mengharuskan dirinya seperti ini.

Zaim menghembuskan nafasnya, "Maaf."

"Engak ada gunanya," gumam Adira masi terdengar oleh telinga Zaim.

"Kamu bebas menilai Papa seperti apa tapi yang harus kamu ingat adalah Papa sayang kamu."

"Papa enggak bisa nunjukin secara langsung tapi percaya, Ra." Zaim tak mengerti bagaimana caranya membuat anak gadisnya percaya.

"Bulshit!"  ucap Adira sarkas.

Zaim terpaku ia baru tau dengan sifat anak gadisnya yang keras kepala persis seperti dirinya saat muda, setaunya Adira adalah gadis penurut seperti Mamanya.

"Udah lah Pa, engak ada gunanya juga Papa jelasin ke Adira." Ucap Adira membuyarkan lamunan Zaim.

"Ingat Pa, perempuan butuh pembuktian bukan cuma janji manis yang mudah Papa tebar." Setelah mengatakan itu Adira langsung keluar.

-o0o-

"Serius bokap lo bilang gitu?"

"Iya," ujar Adira pada laki-laki di sampingnya.

"Gue rasa si enggak sepenuhnya bohong, Ra. Gimana pun juga dia lo anaknya ada darah yang mengalir di tubuh lo dari dia."

"Gue tau Pa tapi gue-" Adira mendengus kesal tak bisa mengungkapkan isi hatinya.

Garpa tersenyum tipis, "Gue tau aslinya lo juga sayang sama bokap lo."

Adira menjawab dengan mengedikkan bahunya meneguk air dingin yang ia dan Garpa sempat beli di supermarket.

"Gue sayang tapi gue juga benci."

"Papa gue terlalu terobsesi buat punya anak cowok, penerus keturunannya," lanjutnya.

Garpa mendengar dengan baik segala keluh kesah Adira, "Gue kecewa sama dia,"

"Gue benci punya Papa kaya dia, kecewanya Mama kecewanya gue juga."

"Apa pun yang dia buat gak akan ngubah takdir kalo dia tetep ayah kandung lo." Ujar Garpa.

"Itu yang buat gue tambah muak, gue gak bisa ngubah takdir gue."

"Boleh enggak gue iri sama mereka," Garpa mengedarkan pandangannya mengikuti arah pandang Adira.

"Hidup setiap orang jelas beda, ngapain dibandingin," balasnya.

"Ngeluh gak akan nyelesaiin apapun, jalan satu-satunya adalah jalanin satu persatu. Fokus dan sabar nanti juga selesai sendiri."

-o0o-

TBC

AYO BANTU SUPPORT AUTHOR!
KOMEN NEXT DISINI.

GadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang