Allah selalu memberi jalan untuk kebaikan. Asalkan disertai usaha dan doa. Kurang seminggu lebih dia menunggu keputusan Revo agar mau datang ke rumah, hari ini semua terbayar begitu menginjakkan kaki di ruang tamu, matanya terpaku melihat Revo duduk di sofa dengan pakaian santai ditemani koran dan kopi.
Dian mengucek matanya, memastikan, barangkali dia salah lihat. Biasanya Revo memakai jas kebanggaannya dan itu pun hanya sebentar. Duduk di sofa dengan santai seperti itu tidak pernah lagi dia lihat setelah sepuluh tahun lamanya.
"Kenapa berdiri di sana?"
Suara itu menyadarkannya. Matanya menatap Revo yang masih menunduk menatap korannya, lalu beberapa detik kemudian mendongak menatapnya.
"Kenapa? Nggak duduk?"
Dian tak bergeming. Ada yang berbeda. Revo tidak bereaksi dengan wajah dinginnya, lebih hangat dari biasa walaupun wajah itu masih agak datar.
"Bukannya mau berbicara sama Papa?" Sebelah alis Revo terangkat, nadanya lembut walau masih terkesan tegas.
"Katanya mau bicara, sana mandi dulu." Revo kemudian menutup korannya dan menaruhnya di atas meja lalu bangkit dari posisinya, berjalan mendekat dan menepuk sekali puncak kepala Dian membuat tubuhnya bergeming kaku. "Papa tunggu di meja makan lima belas menit lagi."
Dian mengerjap, cairan bening yang tertahan kini luruh begitu saja. Tatapannya tidak lepas dari Revo yang kini tersenyum dan berbalik pergi menuju kamar. Revo berubah. Tadi Revo tersenyum kan? Dian nggak mimpi 'kan?
"Kalau telat Papa cancel." Suara itu membuatnya tersadar dan segera menghapus air mata dengan senyum yang mengembang. Dian mengangguk semangat tanpa dilihat Revo, lalu buru-buru pergi ke kamar untuk membersihkan diri. Sepuluh menit kemudian, dengan baju rumahan dan hijab instannya, Dian kembali turun dan memperlambat langkah begitu melihat Revo duduk menyeduh kopinya.
Ingin mendekat dan duduk di sana, kakinya seakan berat untuk melangkah. Semuanya terasa kaku. Ini pertama kalinya mereka makan bersama. Dian menunduk, meremas jarinya dan mengucap doa semoga komunikasinya dengan Revo hangat seperti halnya anak dan Ayah.
"Dian?"
Kepalanya mendongak, mendapati Revo tersenyum membuatnya ikut mengulum senyum tipis dan segera mengambil duduk bersebrangan setelah disuruh. Setelahnya tidak ada yang bicara, Dian mengambil nasi untuk Revo lalu untuk dirinya, ia sedikit menunduk karena tatapan Revo sedari tadi tidak lepas memperhatikannya.
"Emm papa mau sup ayam atau-"
"Sup ayam."
Dian mengangguk. Setelah memberikannya pada Revo, mereka sama-sama menikmati makan malam yang begitu canggung itu. Dian sendiri tidak berani mendongak, ingin memulai bicara pun terasa aneh.
"Gimana kabar kamu?"
Kepalanya mendongak, pertanyaan itu membuatnya terpaku. Setelah sekian lama, akhirnya satu kalimat yang dari dulu ia damba kini diterimanya juga. Air matanya nyaris pecah jika tidak ditahannya. Hari ini Revo benar-benar membuatnya terkejut. "Dian baik."
"Maaf." Untuk pertama kalinya sang Ayah mengatakan maaf. "Maafkan Papa, Dian.," ucap Revo penuh sesal. Dian meletakkan sendoknya, menatap sepasang mata yang kini menatapnya begitu bersalah. Ia tersenyum haru.
"Pa "
"Maaf."
Dian mengambil tangan Revo di atas meja, menggenggamnya dan menatap penuh rindu sosok dihadapannya. "Dian udah maafin Papa. Terima kasih, Papa kembali," bisiknya senang. Melihat Revo yang masih bersalah membuatnya bangkit dan berdiri di belakang Revo, dan memeluk erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu dalam Istighfar ✓
SpiritualBagaimana jika yang jahat, nakal, suka clubbing jadi tokoh utama? Ini tentang Arasya Faradian Rayen, gadis 17 tahun dengan keluarga berantakan. Ia punya sahabat, sama-sama usil dan suka clubbing. Dian itu dingin, tapi dia mencintai sosok sempurna be...