[5] Tempat Pelarian

1.9K 317 6
                                    

a/n: Ini part sebelum Al-Fatih Razaqul Ilham. Kemarin itu udah aku publish, gak tahu kenapa mungkin karena jaringan jadi ke unpublish. Happy reading ♥️

-------

Untuk apa dia ada jika pada akhirnya lagi dan lagi dia kembali terluka dengan ini semua.

••Memintamu dalam Istighfar••

Angin malam tidak membuatnya beranjak dari tempatnya saat ini. Gadis bermata bulat itu menghela nafas memperhatikan langit malam bertabur bintang. Rambut gelombangnya kini dibiarkannya tergerai.

Ia duduk bersandar dengan secangkir vanila latte di tangan kanan. Sekelabat kejadian beberapa jam lalu membuatnya tersenyum kecut. Masih terbayang bagaimana keputusan itu ia dengar dengan keras dihadapannya.

Kadang dia ingin bertanya. Sebenarnya untuk apa dia ada, jika akhirnya hanya derita yang dia terima. Bertahun-tahun dia bersabar dan berharap, namun semuanya kandas dengan keputusan mutlak tersebut.

Memang dia menahan hati atas sikap mereka. Dia selalu menahan perih akan luka yang tak pernah terobati. Luka yang kian menganga tanpa mendapat sejuta bahagia.

Lagi dan lagi satu pertanyaan hadir di benaknya. Tuhan ... untuk apa dia hidup di dunia. Tidak mendapat kebahagiaan dari keluarga, hanya dingin dan hampa dari dulu yang menjadi temannya.

Untuk apa dia ada jika pada akhirnya lagi dan lagi dia kembali terluka dengan ini semua.

Apa hakikat hidup sebenarnya?

Tes

Kepalanya menunduk, ia menghapus kasar air matanya yang berhasil lolos. Desahan berat meluncur dari bibir pinknya.

Ketika hatinya terasa berat seperti ini kepada siapa dia bisa bercerita? Ketika semua luka yang dia tangung sendiri, siapa yang peka dan mengerti dirinya?

Tidak ada.

Dari dulu dia hanya bercerita dengan dirinya. Dia hanya menanggung sakit seroang diri. Menanam sendiri semua kepahitan hidupnya.

Dering telfon di atas meja membuatnya mengangkat kepala. Dian membuang nafas kasar dan menghirup nafas sebanyak-banyaknya. Lalu mengambil benda pipih itu dan melihat nama yang tidak ingin dilihatnya di layar.

Engan mengangkat, ia mereject panggilan tersebut. Diliriknya jarum jam tangan. Sudah pukul sembilan malam. Itu artinya sudah dua jam dia di sini setelah hal tadi.

Diteguknya sedikit vanila latte yang sisa setengah. Perhatiannya kembali menatap langit malam yang berbanding terbalik dengan hatinya yang porak-poranda.

Dian mengambil ponsel dan sling bagnya, berlalu turun dari lantas atas kafe ke bawah setelah membayar. Dia akan pergi ke suatu tempat, melupakan sejenak rasa sakitnya. Tempat biasa yang menjadi pelarian utama.

Begitu tangannya mencapai pintu mobil, panggilan kembali masuk. Dia mendengus. Mereject namun kembali tetap ditelfon membuatnya sesak.
Dengan berat dia membuka panggilan tersebut.

"Dian! Pulang! Kamu harus pilih ikut siapa!"

Tes

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang