[45] End

4.3K 352 76
                                    

Titik yang dia kira tempat temu, malah mengikis kembali jalan dan membelok harapan. Dia yang dia harapkan tidak menjadi yang diinginkan.

Memintamu dalam Istighfar•

"Kak Ilham?"

Semua pandang mata menoleh, sedang sepasang mata yang menatap teduh itu kini tersenyum lembut. Di sana dia dia duduk dengan kemeja putih serta celana dasar hitam. Menatapnya dalam. Wajah itu masih sama, makin terlihat tampan.

Tapi

"Dian? Kenapa, Nak?"

Ia memutus pandang, beralih menatap Fera dengan linglung. Kepalanya menggeleng kecil. Kemudian dia duduk di antara Revo dan Fera. Kepalanya menunduk, dian belum bernai mendongak. DIan masih mencerna ini semua. Semuanya terlalu tiba-tiba.

Bukannya Akbar yang akan datang melamar?

Keberadaan ilham, tak bisa ditampik perasaannya senang. Akhirnya setelah tak tahu lagi kabar, Ilham hilang begitu saja, laki-laki yang masih ia harapkan kini berada di rumahnya, Bersama keluarganya dan tepat duduk dihadapannya.

"Dian, kamu mengenalnya?"

Pertanyaan yang bersumber dari sebelah kanannya sontak membuatnya menoleh sejenak menatap Ilham lalu mengangguk. Revo berdehem sejenak, sorot mata tajamnya kembali menatap laki-laki yang berniat melamar putrinya.

"Silakan kamu tanyakan langsung pada putri saya. Untuk pilihan tergantung Dian, karena Dian yang akan menjalankan ini semua." Revo tadi ikut bingung. Dia tahu Akbar yang putrinya maksud. Namun ketika datang yang lain dan keluarga pihak mereka bercerita dulu dan ia tahu laki-laki yang meminang anaknya baik dan berasal dari keluarga yang baik juga membuatnya membiarkan lamaran itu berlanjut. Namun, tak memaksakan, biar putrinya memilih akan menerima laki-laki bernama Ilham ini atau Akbar yang sebentar lagi datang.

Di sisi lain, Dian meremas jemarinya gugup. Pikirannya berkelabat kacau apalagi begitu kepalanya mendongak Ilham mulai menyampaikan lamarannya. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana jika Akbar nanti datang?

Ilham memang yang dia harapkan

Namun Akbar .

"Arasya Faradian Rayen ada doa yang saya selipkan dalam setiap doa dan sholat. Ada perasaan yang sudah terlalu dijaga lama, kini saatnya disampaikan inginnya. Ada hasrat ingin bersatu pada Ikatan yang diridhoinya. Ada keinginan untuk merangkai ikatan itu bersama seorang gadis istimewa. Untuk itu, dengan segenap hati saya ingin meminangmu menjadi pasangan halal, pelengkap tulang rusuk yang selama ini saya cari serta pendamping hidup untuk berjalan dalam mimbar cinta karena Allah. Atas lamaran ini maukah kamu menjadi istri saya?"

Blush

Pipinya mendadak panas. Dian menunduk begitu debaran jantungnya menggila. Ada bahagia yang dia rasa terutama senyum menawan di hadapannya. Namun, bunyi sebuah kotak yang terjatuh membuatnya menoleh.

Dian terdiam menatap Akbar bersama Vano di tepi pintu luar. Sebuah tatapan penuh luka yang menunduk itu kini memilih berbalik badan, membuat Dian sontak menatap semua orang dan berakhir pada ilham yang menunggu jawaban. Mereka tidak menyadari keberadaan orang lain di luar.

"Bagaimana, Nak Dian?" Suara lembut wanita berkhimar syar'i berumur empat puluh tahun lebih tersebut membuatnya tersentak. Dian menatap manik di hadapannya dalam, kepalanya menggeleng kecil.

"Maaf Kak ilham, Dian akan menerima seseorang," ungkapnya bersalah dengan suara keras. Kemudian Dian menoleh ke arah pintu, pada Akbar yang menghentikan langkah dan sontak berbalik badan.

"Seseorang di depan pintu."

Pihak laki-laki terdiam kecewa, halnya Ilham yang kini senyumnya luntur, perhatiannya ikut menoleh ke arah pintu seperti yang lain. Di sana, Akbar berdiri dengan tatapan tidak percaya. Senyum Akbar terbit seiring dilihatnya Dian melempar senyum manis.

Namun dia.

Ilham dipaksa menelan pahit-pahit kenyataan yang menamparnya. Tangannya terkepal. Matanya terpejam, berusaha menahan gejolak yang bergemuruh.

Cemburu. Ya.

Sakit. Lebih.

Sesak. Dia terasa dicekik.

Rasanya pasokan dunia seakan menipis. Hampir-hampir membuatnya mati menahan nafas kalau saja sentuhan lembut di bahunya tidak membuatnya kembali sadar dan berusaha tenang.

Uminya tersenyum lembut dan berbisik pelan. "La tahzan. Jodoh sudah diatur."

"Dulu Dian memang mengharapkan kak Ilham. Dulu, hanya Kak Ilham dalam doa Dian. Dulu, kak Ilham sosok istimewa yang selalu Dian idamkan. Namun, maaf hanya Akbar yang benar-benar selalu ada untuk Dian."

"Kak Ilham, terima kasih untuk empat tahun lalu. Terima kasih sudah mengenalkan Dian ke jalan yang benar. Bagi Dian kak Ilham Kakak terbaik. Dian harap Kak Ilham bisa dapat yang lebih baik. Kak Ilham maaf."

Ilham menunduk dalam, tak kuasa menahan sakitnya penolakan. Air matanya ingin tumpah jika saja tak ingat tempat. Tertolak. Nyatanya takdir tidak membiarkan mereka berakhir di satu tempat yang sama.

Titik yang dia kira tempat temu, malah mengikis kembali jalan dan membelok harapan. Dia yang dia harapkan tidak menjadi yang diinginkan. Karena Allah tak menyetujui ini semua. Ilham tersenyum getir begitu Dian bangkit dan melempar senyum tipis, lalu melangkah ke luar menuju seseorang yang akan dia terima.

"Bar. Gue nunggu lo."

Djuar.

Ilham mengusap wajahnya gusar. Lalu berusaha tersenyum begitu perasaannya seakan terkoyak. ia menoleh pada kedua orang tua Dian, menampilkan senyum ramah. "Mungkin, saya dan keluarga balik dulu, Om," ucapnya berusaha tegar.

Tepukan di pahanya dari sang paman membuat Ilham membiarkan pamannya melanjutkan. Pamit pulang dengan baik-baik. Ilham bahkan tak dapat lagi menatap Dian, karena semuanya begitu mengecewakan. Mereka berlalu, bersamaan masuknya Akbar dan Vano.

Dian menunduk selepas Ilham dan keluarganya pergi. Dia meminta maaf atas penolakan ini. Namun kepergian mereka tak lantas membuatnya merasa sedih dan bersalah. Dian sudah memikirikanya matang-matang.

Hanya karena ilham datang, ia tak bisa membuat Akbar yang juga sudah datang menelan kecewa. Halnya Akbar yang berkata dia tidak akan egois untuknya, kini Dian juga memutuskan dia tak akan egois untuk Akbar. Yang selalu ada hanya Akbar. Sedang Ilham hilang dan datang tanpa kabar.

Memang Ilham menyisakan rasa di hati, namun empat tahun berlalu rasa itu terkikis. Akbar berhasil membuatnya menggeser Ilham. Takdir memang mengejutkan.

Pilihan Dian bukan hanya karena melihat kekecewaan Akbar tadi yang mengira dia menerima, namun karena dorongan hati kecilnya disertai istikharah yang sudah seminggu terakhir ia laksanakan.

Untuk Kak Ilham

Maaf

Akbar pilihan Dian.

Dan mungkin memang nama kita tidak menyatu di Laud Mahfudz

Terima kasih pernah hadir
Walau akhirnya tak bertepi

ENDING
.


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Pertama aku mengucapkan beribu terima kasih untuk kalian dimanapun berada, sudah baca cerita ini sampai ending. Makasih banget udah ikutin cerita ini dari awal. Ikuti bapernya, serunya, nyeseknya, ngeselinnya bahkan sampai part ini.

Maaf atas kekecewaannya untuk ending. Udah dibuat girang di part sebelumnya di akhir malah dijatuhkan.

Dibalik ini juga ingin menyampaikan pesan tersirat. Yang datang tidak harus menatap. Bisa saja datang hanya untuk memberikan pelajaran. Seseorang yang sengaja Allah hadirkan. Untuk memberikan jalan.

Oh ya, untuk teman-teman boleh silakan sampaikan kesan pesannya baca ini. Sedihnya karena sad ending dan Q&A masih kubuka. Mau marahin author ya nggak apa-apa deh. Biar lega hehe.

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang