[14] Dia Hampir Mati

1.4K 251 5
                                    

Mari biasakan vote dulu sebelum membaca ya. Syukron and Happy Reading📖

•••••

Menurutmu salah memperjuangkan apa yang kita inginkan? Termasuk aku yang berjuang dan melakukan segala cara hanya untuk merebut kembali Arkan?

Arasya Faradian Rayen
-Memintamu dalam Istighfar-

Pelajaran matermatika membuat semua siswa diam memperhatikan Pak Asraf yang tengah mencoret-coret papan dengan angka-angka dan penjelasan panjang lebar. Mereka mengangguk ketika ditanya, tidak peduli paham atau tidaknya. Yang jelas mereka ingin pelajaran ini segera berlalu. Secepat mungkin.

Berbeda dengan Dian yang kian bosan, ia mengetuk-ngetuk pelan meja menggunakan penanya. Perhatiannya sekali-kali beralih pada jam di atas papan tulis. Pukul Sembilan. Tadi dia sempat melirik jadwal adik kelas yang jadi incarannya.

Hari ini mereka sedang ada jadwal olah raga dan tepat sekali waktunya di pukul sembilan. Tinggal mencari waktu yang pas untuk dia izin. Namun sayangnya, Pak Asraf masih berbicara tiada henti, membuatnya sulit menyela hanya untuk izin.

Perihal kerjaannya tadi pagi, Dian belum tahu nasibnya bagaimana. Yang jelas pasti nanti dia akan ketahuan, apalagi kepala sekolah yang melihat langsung. Dian pasrah saja, semoga saja dia tidak diseret ke BK. Semoga. Tapi sepertinya itu tidak mungkin.

“Ada pertanyaan?”

Dian tersentak “Pak,” panggilnya mengacungkan tangan, membuat perhatian semua orang beralih. Pak Asraf terlihat menatapnya dengan sebelah alis terangkat, mungkin beliau bingung kenapa siswinya satu ini tiba-tiba ingin bertanya. Biasanya hanya diam dan malah menghindar.

“Mau tanya apa lo, Di?”

Tidak dihiraukannya pertanyaan Aila. Dian berdiri. “Saya izin ke toilet ya, Pak.” Semua mata menoleh malas, ada juga yang tertawa. Setelah mendapat anggukan, Dian segera mluncur ke lantai tiga dengan botol kecoak yang ia pegang sebaik mungkin.

Begitu berada di lantai dua, matanya memperhatikan kelas sebelas yang tengah bermain voli di lapangan. Ia tersenyum sinis begitu matanya menangkap Dinda yang duduk di pinggir lapangan, ia melirik sejenak jam tangannya dan melanjutkan langkah menuju sebelas Mipa 3.

Matanya menelisik setiap tas yang ada di kursi dan tas meja, seingatnya tas Dinda berwarna Maroon hitam.
Tas itu tepat berada di meja dekat pintu. Dian mengangguk-angguk. Rajin juga itu anak duduk di depan.

Ia segera membuka resleting tas gadis itu, membalikkan botol setelah membuka tutupnya tepat di dalam tas Dinda. Lima kecoak pun meluncur membuat Dian buru-buru menutup reseliting.

Sebelum pergi, pandangannya jatuh pada beberapa buku yang tersusun rapi di atas meja, botol minum warna hitam dan baju ganti. Aha! Ia punya ide lain. Dian melirik tinta spidol yang di bawah papan, segera mengambilnya dan memasukkannya ke botol minum.

Katakanlah Dian jahat, dia tidak memikirkan dampak yang ia dapat. Yang jelas saat ini dia ingin membuat Dinda menderita dan menciptakan kesenangan di minggu penderitaan.

Begitu beres, ia segera keluar dan pergi dengan hati-hati. Takut jika ada yang melihat. Sampai di lantai satu, Dian berjalan santai untuk kembali ke kelas. Tepat saat itu juga, dia berpapasan dengan Dinda yang berjalan seroang diri. Dian menatap datar, tersenyum sinis. Sedang Dinda menunduk. Begitu berpapasan, ia menyengol keras bahu itu membuat Dinda meringis.

“Ups, sorry,” timpalnya seraya berlalu.

***

Bunyi ambulance yang terdengar begitu menarik perhatian semua siswi. Beberapa siswa-sisiwi tanpak berlari ke atas untuk melihat kegaduhan di lantai tiga, mengabaikan perut mereka yang meronta demi melihat sesuatu yang sedang dihebohkan.

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang