[28] Untuk Dian

1.3K 242 7
                                    

Bismillah. Vote ⭐ dulu sebelum lanjut. Happy reading 📖
_____________

Sejak permintaan dan penawaran Ilham itu. Terutama setelah sholat ashar kemarin Dian jadi semangat dengan niat barunya. Sampai-sampai,  di rumah kemarin, semua hadiah Ilham yang berisi Al-Qur'an, tasbih, sajadah dan bahkan mukena dia tata dengan rapi di meja.

Pagi ini, Dian menatap dirinya di cermin untuk bersiap ke sekolah. Sejenak ia tersenyum menatap pantulan dirinya. Kali ini dia tidak memakai maskara ataupun Lip berwana pink cerah. Melainkan hanya bedak biasa dan Lim lamb. Ya Dian juga bertekad tampil natural.
Rambutnya tetap diurai seperti biasa.

Sebelum mengambil tas dan beranjak. Matanya melirik sejenak Al-Qur'an dan mukena dari Ilham. Serius dia senang karena tadi pagi melaksanakan sholat subuh. Walaupun telat satu jam. Itu pun dibantu Ilham yang sengaja menelponnya.

Bolehkah Dian bilang hatinya lebih lega dari kemarin. Sesak di hatinya serasa terangkat walau nyatanya kepahitan itu belum hilang. Tapi tidak apa, Dian bahagia akan ini dan dia kian percaya. Benar, kalau dekat dengan Allah semuanya terasa lebih ringan dan lapang.

Dian masuk ke mobilnya yang kini berganti warna putih. Setelah melirik jam yang menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh, mobilnya pun melaju membelah jalan pagi yang sedikit basah.

Tidak hanya karena perasaannya lebih baik membuat Dian semangat pagi ini. Rencana Ilham mengajaknya sepulang sekolah membuatnya tidak sabar.

Lima belas menit melewati jalan yang tidak macet, membuatnya sampai lebih cepat. Begitu turun, dia langsung dihadapkan dengan kedatangan Akbar yang kini menatapnya dalam.

"Hai ... pagi Bar?"  sapanya seraya berjalan dahulu diikuti Akbar yang kini menaikkan sebelah alisnya.

"Udah lebih baik?" Kedua sudut bibirnya tertarik melihat keadaan Dian sekarang dibanding beberapa hari belakang yang menjadi penyendiri.

"Hmm. Lebih baik." Angguknya semangat. Kakinya terus melangkah menuju kelas membuat Akbar memiringkan kepalanya.

"Gak ke kantin belakang?"

"Ooh gak. Gue mau ke kelas. Belajar."

"Hah?" Akbar melongo membuat Dian tertawa seraya mengibaskan tangannya.

"Udahlah Bar. Udah sibuk Try out kan kita. Belajar Bar. Biar lulus," gumamnya tanpa menghentikan langkah.

Akbar yang di belakang, terdiam beberapa saat. Mencoba mencerna ada apa dengan Dian? Sedang Dian terus yang kini berbelok menuju lorong kelasnya, memudarkan senyum begitu tatapan tajam kefin menatapnya.

Tatapan itu mengintimidasi. Dian berusaha tidak peduli dan menganggap lalu Kefin didepan yang makin dekat. Dia tidak ingin bersusah payah menghancurkan moodnya yang baik karena masalah yang tidak ingin dia sebut.

Tapi harapannya pupus. Begitu Kefin menghentikan langkah tepat dihadapannya seraya berbisik dengan senyum miring. "Pembunuh bisa senyum setelah membunuh orang?"

Dian tercekat.

Pembunuh. Kata yang membuat tubuhnya langsung keringat dingin. Satu kata yang berhasil membuat perasaan campur aduk.

"Dan lo pikir. Lo bisa tenang setelah ini Dian? Jangan harap!" tekan laki-laki itu seraya berlalu.

Dian mengepalkan tangannya. Menatap kanan kiri yang menatapnya dengan berbagai macam tatapan. Beberapa detik kemudian, ia mengembuskan nafas panjang, memejamkan mata seraya mengingat ucapan Ilham sore itu.

"Ingat Allah aja."

"Astaghfirullah,"  lirihnya kembali membuka mata. Dian menggeleng. Meyakinkan dirinya kalau dia akan tegak kembali dengan baik.

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang