[44] Jawaban Lamaran

1.9K 266 58
                                    

[Di gue udah di jalan]

Dian mengusap kedua telapak tangannya yang terasa dingin. Angin yang berhembus kencang di senja hari kian membuatnya menggigil. Belum lagi karena chat Akbar yang baru masuk tadi, membuatnya ikutan gugup dengan jantung yang tak beraturan. Dian berjalan mondar mandir lalu menghela nafas panjang. Perasaannya ikutan tak menentu, antara senang dan sedih. Antara waktu ingin melambat atau waktu cepat berlalu. yang jelas lamaran sebentar lagi membuatnya berdebar.

Dian menghentikan langkahnya, matanya melirik teh panas yang lima menit lalu diantarkan Bi Nini. Sepertinya dia butuh menghangatkan badan dan menenangkan diri sejenak sebelum lamaran itu benar-benar akan terjadi. Jujur, ia gugup setengah mati, walau Akbar sahabatnya tetap saja ini persoalan beda, apalagi mereka sudah tidak pernah bertemu empat tahun lamanya.

Menyesap tehnya tiga kali, Dian lalu menghirup nafas Panjang dan membuangnya perlahan. Ia mengucap bismillah lalu shalawat nabi yang setidaknya membuatnya sedikit tenang.

Tin!

Dian terkisap. Ketenangannya kembali goyah. Kini kakinya mengetuk-ngetuk kabin dengan gusar. Ingin berdiri, kakinya tidak mau. Hatinya berbisik, duduk dulu Dian. Tenang. ini baru lamaran biasa, belum menikah. Jadi jangan lebay dan duduk dengan cantik sampai Mama Fera datang mengajak ke bawah.

Dian mengangguki ucapan hatinya. Lalu menghabiskan tehnya melawan dingin yang masuk ke tubuh. Setelahnya ia melangkah ke dalam kamar dan menatap dirinya di depan cermin.

Dengan gamis biru laut menyapu lantai, Khimar instan bermotif bunga di ujung dan garis ditengah berpadu warna abu-abu dan biru tua dan muda membuatnya tampak terlihat anggun dan cantik. Dian mengulas senyumnya lalu mengambil lipstik berwarna pink cerah dan membalutnya sedikit di bibir.

"Oke Dian, Keep Calm. Tinggal bilang iya dan selesai. Oke ini gampang."

Di saat seperti ini, menyemangati diri sendiri memang sangat diperlukan. Seiring dengan itu suara ketukan tiga kali membuatnya buru-buru beranjak. Mama Fera berdiri di depan pintu dengan senyum mengembang.

"Jadi, Akbar itu laki-laki soleh ya?"

Dian mengerinyit. Soleh? Setahunya Akbar tidak seperti ... Ah maksudnya terakhir kali dia bertemu, Akbar belum hijrah. Atau karena empat tahun mereka tidak bertemu, Akbar diam-diam sudah berubah?

Bisa jadi. Mungkin laki-laki itu sudah menjemput hidayah. Dian menyunggingkan senyumnya. Ini tentu saja membuat perasannya senang. Laki-laki soleh tentu menjadi idaman wanita mana pun. Termasuk dia yang sudah hijrah sejak empat tahun lalu.

"Ibunya baik. Mertua kamu sepertinya menyenangkan, sayang."

Senyumnya luntur. Dian termenung. Setahu dia, Mamanya Akbar, 'kan ....

"Aduh, mama malah ajak kamu ngobrol. Ya udah yuk ke bawah. Mereka nungguin kamu."

Dian menatap Mama Fera yang kini menggenggam tangannya dan tersenyum lembut. "Mama akan duduk di samping kamu. Jadi jangan gugup ya?"

Senyumnya terbit. Dian mengangguk mantap. Beberapa hari ini sejak kedatangan Fera, dia seakan merasa memiliki Mama lagi di sampingnya, walau tidak kandung. Tapi, perhatian yang selama ini selalu dia inginkan seolah sudah dicurahkan Fera. Mama Fera baginya anugrah indah dari Allah beri setelah beberapa tahun harapnya.

Mereka berjalan berdampingan ke bawah, Kini dia dirangkul Fera hingga sampai di ruang tamu. Kepalanya menunduk sepanjang jalan, namun begitu mendongak, mata bulatnya membola begitu berselobak dengan sepasang mata teduh yang membuatnya hampir saja jatuh jika tak berpegangan pada Fera.

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang