[11] Thank Kak Ilham

1.5K 315 9
                                    

Bukannya melupakan, hanya saja memilih tidak peduli dengan berusaha tersenyum dan tertawa seolah tidak ada apa-apa. Satu hal yang membuatnya bisa lupa akan semua.

•••Memintamu dalam Istighfar•••


Dia benar

"Lagian, semua orang itu nyatanya baik. Sikap buruk bukan sifat aslinya. Bisa aja terpengaruh teman atau malah lingkungan."

Saat itu juga senyum Dian pudar. Lingkungan. Memang benar, karakternya saat ini terbentuk karena lingkungan keluarganya yang hancur hingga ke lingkungan teman yang ia pilih.

Suasana hening kembali, Dian sibuk dengan pikirannya. Meringis dan teringat kembali kejadian beberapa menit lalu, tentang orang tuanya. Padahal tadi baru saja semuanya seolah hilang.

"Are you okay?"

Pertanyaan itu membuatnya menoleh lagi. Dian tersenyum tipis. "Gak juga," balasnya pelan.

"Maaf kalau perkataan gue ada yang menyingung," ucapnya bersalah.

"Gak kok, Kak. Malah lo jadi buat gue kagum sama ucapan lo tadi." Dian berusaha terlihat tidak apa-apa walau perasaanya kembali sesak.

"Dan kenapa lo bisa nemuin gue di Club?" tanyanya heran, mengingat pembicaraan tadi belum selesai.

"Nah itu, berhubung gue perlu KTM untuk urusan kampus. Jadi gue udah seminggu nungguin lo di mesjid."

"Kakak di sana setiap hari?" Dian tidak menyangka seniat itu laki-laki Ini mencari KTM-nya. "Memang seberapa penting sih KTM itu?"

Ilham tersenyum kecil. "Lo bakal tahu seberapa penting dan perlu kartu itu kalau udah jadi mahasiswa. Penting banget. Apa-apa harus KTM. Makanya gue cari lo dan belain nunggu."

Dian mengangguk-angguk.

"Malam itu gue cari makan keluar, depan Cafe gue lihat lo keluar dan masuk mobil. Habis angkat telfon dan nangis lo langsung pergi gitu aja."

Dian terdiam sejenak. Berarti dia melihatnya menangis setelah menerima telfon dari orang tuanya kala itu.

"Awalnya gue gak mau ikutin, berhubung lo kelihatannya ada masalah. Tapi balik lagi, gue perlu banget itu KTM. Ya udah gue ikuti dan ternyata lo ke Club?"

"Terus?" Dian memperbaiki posisinya menghadap Ilham yang dari tadi kembali menatap ke depan. Dilihat dari sikapnya, Ilham tidak mau menatap seroang wanita lama-lama dan itu membuat teringat Nizam dan Aila yang kegilaan mengajar Nizam.

Ada perasaan kagum dan penilaian dia berbeda dari laki-laki lain. Apa ini juga yang dirasakan Aila?

"Awalnya gue gak mau masuk Club. Seumur-umur gue mencoba jauh dari tempat tersebut."

Dian terdiam sejenak. "Emang apa yang salah dari Club?"

"Haram." Satu kata tersebut membuat Dian bungkam. "Agama Islam melarang mendatangi tempat tersebut," jelas Ilham menekan, seakan sengaja menyandarkan gadis di sebelahnya.

Hening beberapa menit dengan suasana kurang nyaman hingga Dian sengaja membahas hal sebelumnya. "Terus jadinya gimana? Kakak masuk dan kenapa bisa nemuin gue gak sadar?"

"Lo didekat Bar. Lagi mabuk. Pas gue ke sana. Lo pergi sama laki-laki itu. Gue curiga sih lihat dari senyum dia. Dan gue ikutin. Gue pukul begitu dia mau rangkul lo."

Dian terdiam, matanya mengerjap. Dia saja tidak ingat kejadian malam itu. Tapi sekarang Ilham menjelaskan apa yang dia lupa.

Satu yang dia ingat dia meracau nama Arkan. Apa dia mengira itu Arkan sehingga mau saja ikut?

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang