Semua orang memiliki prinsip hidup, begitu juga dengannya. Baginya berjuang itu harus sampai titik jenuh, dan dia tipe gadis yang melakukan banyak cara untuk mencapai kepuasannya. Dian memperhatikan guru sejarah tanpa minat, pikirannya kini berkelana, memikirkan dengan cara apa lagi dia membuat Arkan cinta padanya? Perihalnya segala penolakan selalu dia terima dengan terang-terangan.
Dua tahun berjuang belum menghasilkan apa-apa, yang ada Arkan kian menjauhinya. Apa ketulusannya tidak membuat laki-laki itu membuka hati. Dia hanya ingin dilihat dan dimengerti. Itu saja. Setidaknya Arkan menghargai perasannya.
"Dian?"
Dian tersentak, menatap Buk Risa yang kini mengangkat bukunya di udara. Ia menatap bingung dan mencolek lengan Aila untuk memberitahunya apa yang disuruh oleh guru yang suka bercerita itu.
"Baca halaman 201, Di. Tentang Organisasi internasional," bisikan pelan itu membuatnya mengambil buku Aila dan membukanya segera.
Dian membuka halaman itu hati-hati dan berhenti pada tulisan besar ORGANISASI INTERNASIONAL. Setelah itu terpapar paragraf panjang yang membuatnya ngantuk seketika.
Pandangannya menyapu sekitar sejenak. Semua teman kelas sudah siap dengan buku mereka untuk mendengarkan. Mau tidak mau dia segera membaca paragraf awal dengan lantang."Organisasi Internasional adalah-"
"Dian, ibu suruh baca Politik Luar Negeri Bebas Aktif."
Sontak tawa mengelegar. Dian menatap tajam sahabatnya yang kini cekikikan. Punya sahabat bukannya membantu malah membuatnya malu. Aila membentuk jarinya berbentuk V, senyumnya lebar. Membuatnya mendengus dan kembali menatap Buk Risa dengan senyum kikuk.
“Maaf, Buk.”
“Astaga, Di. Makanya perhatiin pelajaran. Jangan Arkan mulu,” celetukan di kursi belakang membuatnya memberengut kesal. Verel, laki-laki itu tertawa puas. Membuat seisi kelas kembali tertawa.
“Jangan ketawa!” perintah tegas itu kembali membungkam mulut mereka. Tatapan Buk Risa menyapu sekitar hingga kembali menatapnya. “Kamu tidak memperhatikan saya, Dian?”
Ia memilih diam. Memang dia tidak memperhatikan pelajaran. Dian pasrah sekaligus cukup bersyukur juga kalau diusir. Sejarah membosankan. Ia mengangguk saja begitu Buk Risa meminta keluar dari kelas. Segera saja ia bangun dari duduknya.
“Sorry, Di.”
Dian mengabaikan permintaan maaf itu, ia memilih berlalu setelah menyimpan penanya. Begitu kakinya mencapai lorong, ia mendengar Buk Risa kini menyuruh Verel membaca.
"Verel baca."
Begitu kakinya menjauh dari depan kelas, ia mendengar suara Buk Risa mengelegar.
"Kamu gak bawa buku Verel!?"
Dian tersenyum. "Rasain."
Dengan tangan yang bersilang di depan dada, kakinya mengayun menuju toilet. Lorong cukup sepi mengingat masih jam pelajaran. Setelah selesai, dia menyempatkan bercermin sejenak sebelum berbelok menuju kantin.
•••
Nyaring bel berbunyi memekakkan telinga. Sorak memenuhi sudut ruang setiap kelas. Guru yang masih asik memberi ilmu pada siswanya terpaksa menghentikan pelajaran.
Begitu kelas ditutup, semua siswa ikut bubar untuk meninggalkan kelas. Begitu halnya Aila yang langsung menghilang, Dian menghela nafas malas melihat Aila sudah ngacir duluan. Padahal guru saja belum keluar.
Setelah menyandang ranselnya, kakinya melangkah menuju parkiran. Karidor kini penuh oleh siswa yang semangat pulang, namun lebih menarik perhatiannya siswa kini berlari menuju lapangan basket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu dalam Istighfar ✓
SpiritualBagaimana jika yang jahat, nakal, suka clubbing jadi tokoh utama? Ini tentang Arasya Faradian Rayen, gadis 17 tahun dengan keluarga berantakan. Ia punya sahabat, sama-sama usil dan suka clubbing. Dian itu dingin, tapi dia mencintai sosok sempurna be...