Seminggu lebih berlalu. Dian masih teguh pada keinginannya untuk menjadi lebih baik. Hal itu juga yang membuatnya seminggu ini disibukkan dengan bermacam pelajaran sekolah, mengulas kembali materi-materi kelas sepuluh dan sebelas yang rasa-rasanya keluar di try out ataupun ujian akhir.
Dian belajar tidak sendiri, entah karena apa, ketiga temannya bahkan ikut serius belajar. Dian masih ingat dengan jelas ketika dua hari setelah sahabatnya mendukung keinginannya, di kafe mereka berbicara masalah sekolah dengan serius dan itu baru pertama kalinya.
"Gue juga mau serius kalau gitu," celetuk Gian tiba-tiba. Sontak mereka yang tengah bergurau menoleh cepat, menatap Gian dengan berbagai ekspresi. Gian menatap mereka bergantian, terakhir pada Dian."Serius apa nih Yan? Jangan bikin khawatir."
"Lo bosan sekolah, Mau nikah?" tuding Vano.
"Kayaknya iya nih, pantes kusut mulu wajah lo, Yan. Bolehlah, kita kasih izin."
Mereka tertawa. Gian berseru jengkel seraya melempar tisu di atas meja pada Vano yang kini terbahak. "Gila kali lo. Nikah apaan, gue masih mau bebas," sungutnya.
"Terus maksud lo apa?" sela Dian di tengah tawanya.
"Serius belajar, kayak lo," ucap Gian menatap DIan kemudian Akbar dan Vano yang membuat mereka langsung terdiam. "Udah mau try out, 'kan? Gini-gini gue juga cemas nilai anjlok. Mana bokap juga ngancam lagi kalau sampai nggak lulus. Lagian gue juga pengen kuliah dan kerja kali. Gak mikir main doang."
Dian mengulas senyum lebar. Vano mengerjap, sedang Akbar yang duduk bersandar dengan tangan terlipat mengangguk-angguk juga membenarkan. "Gue juga kepikiran gitu, kita kayaknya nggak bisa main-main terus," lanjut Akbar menatap mereka bergantian.
"Setuju juga, nggak mungkin wajah tampan gini sampai nggak lulus," ucap Vano serius dengan tangan kanan yang menyisir rambutnya ke belakang. Mereka yang melihatnya mencebik namun Dian tidak bisa menahan senyumnya.
"Lagian ntar modal buat deketin Aila lagi. Biar Aila sejahtera sama ge," rupanya Vano masih mengharapkan Aila setelah semua itu.
"Masih ngarep AIla?"
"Cinta gue nggak main-main," ucapnya sombong. Mereka tertawa dan mengangguk saja. Terserah Vano saja, itu pilihannya ingin kembali berjuang walaupun udah dijatuhkan beberapa kali.
"Kalau Aila balik tahu-tahu udah nikah duluan gimana?" tanya Gian mengeluarkan pikirannya.
"Jangan gitulah Yan. Sebagai sahabat lo bantu dukung kenapa?"
"Ngasih permisalan aja," eleknya tertawa.
"Jadi kapan kita mulai belajar?"
Sejak saat itu mereka memang sibuk belajar, jika biasanya pagi-pagi mereka udah di kantin untuk nongkrong, kini mereka sudah duduk ayem di kelas sebagai anak baik. Jika biasanya pulang sekolah mereka ke kafe juga sekedar nongkrong biasa, kini mereka membawa buku, dan bahkan tidak jarang ketika jam kosong mereka belajar di perpus Bersama yang membuat semua siswa takjub dan guru mereka melongo.
Ketika ditanya mereka menjawab, "bandel-bandel gini, kita masih punya tujuan, Buk."
Dian mengulas senyumnya, lalu menutup buku begitu kerjaannya selesai. Diliriknya waktu yang menunjukkan pukul sebelas malam. Sejenak melakukan peregangan tangan karena pegal barulah Dian naik ke atas kasurnya dan duduk di sana seraya mengambil ponselnya yang dari maghrib belum dijamahnya sama sekali saking ingin fokus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu dalam Istighfar ✓
SpiritualBagaimana jika yang jahat, nakal, suka clubbing jadi tokoh utama? Ini tentang Arasya Faradian Rayen, gadis 17 tahun dengan keluarga berantakan. Ia punya sahabat, sama-sama usil dan suka clubbing. Dian itu dingin, tapi dia mencintai sosok sempurna be...