[21] Sebuah Tujuan

1.1K 227 13
                                    

Sekeras apapun sahabatnya mengatakan Arkan hanya sandiwara,  Dian tetap tidak percaya. Ia berani membantah mereka yang sok tahu. Buktinya sudah hampir terhitung dua Minggu mereka pacaran, Arkan selalu manis dan perhatian. Tidak bersikap seperti dulu lagi.

Terutama pagi ini laki-laki berjaket hitam dengan tangan berlipat di dada itu kini tengah berdiri di depan gerbang rumahnya. Seperti hari-hari terakhir, laki-laki itu selalu mengantar jemputnya. Bahkan Satu hari setelah resmi jadian, Arkan pagi-pagi sudah berada di rumahnya. Padahal Dian yakin Arkan mana tahu alamatnya.

"Kamu kok tahu rumah aku?"

"Bukannya sebagai pacar aku harus tahu?"

"Selamat pagi Pacar?" Kedua sudut bibirnya tertarik begitu sampai di depan mobil Arkan. Arkan yang tadi menunduk memainkan ponsel, mendongak dengan senyum mempesona.

"Udah?"

"Udah. Yuk!"

Arkan mengangguk. Sebelum masuk, membukakan pintu mobil untuknya. Hal yang sering dilakukan laki-laki itu sejak mereka jadian.

"Malam minggu aku mau ngajak ke suatu tempat. Mau gak?" tanya Arkan begitu mendaratkan tubuhnya di belakang kemudi. Dian mana bisa menolak, ia langsung mengangguk dengan girang.

"Pasti aku mau Arkan sayang," serunya mendapat kekehan dari sebrang.

Arkan mengganguk. Tangan kekarnya mengusap lembut rambut gelombang Dian yang tergerai sebelum mobil itu melaju menuju sekolah.

"Cantik."

"Siapa?"

"Kamu."

Dian tersipu. Sikap Arkan dan pujian yang sering dia berikan sungguh membuatnya merasa terbang. Hatinya serasa diaduk kebahagiaan. Mendebarkan namun dia menikmati semuanya.

Lima belas menit dalam perjalanan, mobil sport Arkan masuk ke pelataran parkir. Tepat saat itu juga sport Putih Vano parkir bersebelahan diikuti motor Akbar.

Mereka turun, Dian yang baru turun langsung menjatuhkan pandang pada kedua sahabatnya yang menatap dalam diam. Terutama Akbar. Akbar menatap dalam dan Dian mengalihkan pandang. Sejak dua Minggu lalu dia benar-benar mendiamkan Akbar.

Berkumpul dengan mereka saja Mungkin tidak lagi lagi pernah, karena waktu Dian di sekolah dan di luar hanya bersama Arkan.

"Ayo, Sayang?" Suara Bass yang terdengar lembut itu membuat Dian menoleh dan tersenyum manis. Dengan digandeng Arkan mereka berlalu begitu saja, tanpa menoleh lagi bahkan melirik.

Kepergian kedua hingga hilang dibalik karidor tidak lepas dari tatapan datar Akbar. Laki-laki itu menendang kesal ban belakang Vano dan berlalu dengan wajah dingin.

"Daripada dua Minggu uring-uringan. Kenapa gak lo bilang aja sih Bar perasaan lo sama Dian. Sampai kapan lo gini?" tanya Vano, ikut menyusul.

•••

"Sebenarnya apa rencana lo, Kan?" Sepasang mata itu menatap serius laki-laki yang baru saja menutup panggilan dengan Dinda.

Bima menyandarkan tubuhnya di sekat kayu yang menjadi pembatas balkon dengan kamar Arkan. Kedua tangannya melipat sedang matanya masih menatap serius laki-laki berkaus abu-abu yang kini meletakkan gitarnya di atas kasur dan berdiri.

"Gue juga penasaran. Bukannya jadian sama Dian akan bikin dia sulit lepas lo?" Kefin yang tengah memainkan PS menghentikan aktifitasnya dan berbalik menghadap Arkan yang kini berjalan menuju lemari.

Keduanya sama-sama tidak mengerti, alasan Arkan berubah manis pada Dian dan lebih parahnya mereka jadian. Yang mereka tahu Arkan sudah mengklaim dia benci pada gadis bernama Dian. Baginya hanya ada Dinda. Seperti sekarang ini, walaupun Dinda kembali sekolah di sekolah lamanya, walau Arkan sudah jadian dengan Dian, laki-laki itu tetap menjalin hubungan dengan Dinda diam-diam.

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang