[31] Menjadi Nyaman

1.2K 255 11
                                    


Happy reading dan mohon biasakan vote dulu sebelum lanjut. Syukron❤️

•••

Di atas kasurnya saat ini, masih dengan mukena putih yang melekat di badannya Dian membuka androidnya dan membuka aplikasi WhatsApp. Bermaksud memulai chat dengan Ilham. Sedari tadi kedua sudut bibirnya tidak henti tertarik. Dengan Ilham, Dian merasa senang. Ada hal yang baru dia rasakan. Nyaman.

Kak Ilham

[Kak, Dian barusan udah solat Isya]

Tidak penting memang buat lapor, tapi Dian merasa perlu untuk itu. Selain kini Ilham membantunya hijrah, Dian juga bingung memulai obrolan. Perihalnya Ilham tidak pernah chat dia kalau tidak penting. Kadang dia greget sendiri.

Melihat ilham baru online lima menit lalu, membuatnya menghembuskan nafas dan beralih melihat chat lain yang masuk. Pertama yang langsung dilihatnya adalah chat grup. Dian membaca sejenak chat itu, setelah dia mengatakan kajian, teman-temannya heboh.

Tidak memperdulikan itu lagi, mungkin besok dia akan menjelaskan jika mereka masih bertanya. Dia tidak kaget dengan reaksi mereka, karena dulu ini juga reaksinya saat Aila hijrah. Tapi Dian rasa mereka tidak akan suka dengan maksudnya ini.

Helaan nafas meluncur. Dia jadi teringat Aila. Seolah yang dulu Aila rasakan kini terjadi padanya. Apa ini juga karma untuknya? Tapi tidak mungkin karma, karena yang dia tahu islam tidak mengenal karma. Sekarang dia malah jadi melihat sisi jahatnya yang membuatnya meringis.

Ting!

Chatt masuk yang ia kira balasan dari Ilham ternyata dari Akbar. Sahabatnya yang tadi mendadak muncul ketika dia memberikan ramalan kepada Ilham. Ketika dia tersenyum lebar dan beralih menatap Akbar yang kini menatapnya dalam dan beralih datar pada ilham.

Satu yang Dian rasakan, aura sahabatnya langsung berubah. Dian hanya berpikir Akbar khawatir dengannya, makanya juga tadi Akbar segera berdiri dihadapannya dan dan mengajaknya pulang. Sedikit kesal, karena saat itu Akbar membuatnya bersalah pada Ilham yang jadi mengambil motor sendiri.

Akbar

[Di?]

[Kenapa?]

[Besok pagi gue jemput]

[Gak usah, Bar]

[Kenapa?]

[Gue sendiri aja]

[Besok bareng.]

"Maksa," decaknya. Kalau Akbar sudah menekan begini, dia tidak bisa lagi menolak dan pada akhirnya jarinya mengetikkan balasan.

[Ya udah]

[Lagi apa?]

[Abis shalat]

[Tumben]

[Tadi siapa?]

[Lo gak kenal, Bar]

[Tadi yang kajian pergi sama dia?]

[Iya]

[Namanya?]

Kedua alisnya tertaut heran. Dia baru tahu Akbar sekepo ini dan bertanya lebih banyak. Dian menjatuhkan ponselnya ke atas Kasur, menatap langit kamar seraya terfikir sesuatu. Melihat reaksi Akbar dari tadi, apa Akbar ... Dian menggeleng. Tidak mungkin. Akbar hanya khawatir kan?

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang