[23] Esok Lusa Bersama Arkan

1.1K 216 9
                                    

Berdiam tanpa bertindak, nyatanya malah makin menikam. Namun jika perasaan tidak lagi terbalaskan dan tiada lagi peluang. Melupakan perasaan atau menguburnya mungkin bisa jadi jalan keluar.

Memintamu dalam Istighfar•

Istirahat kali ini, Dian memutuskan untuk makan bersama sahabatnya. Sudah lama mereka tidak bareng lagi apalagi makan. Dian akui sejak dia jadian dia jarang mempunyai waktu dengan mereka, bahkan bisa dikatakan tidak pernah lagi. Sebenarnya yang membuatnya tidak sempat bukan saja karena ingin memiliki waktu banyak dengan Arkan tapi juga karena Akbar waktu itu.

Tarikan dua kursi secara serentak mengalihkan perhatian Gian dan Vano kepada Dian dan Akbar sama-sama duduk berhadapan.

"Udah baikan?" Sebelah alis Gian terangkat. Pertanyaan itu hanya mendapat gumaman dari Akbar.

"Nah gini dong. Enak," ujarnya kemudian, laki-laki itu tersenyum lebar. Tampaknya dia yang paling bahagia karena Dian gak menjauh lagi dari mereka terutama Akbar.

Sedang Vano, menatap Akbar dengan wajah yang seolah bertanya 'gimana ceritanya baikan?'

Laki-laki itu hanya tersenyum simpul.

"Kalian jangan macem-macem ya. Apalagi masih bahas Arkan." Dian menatap keduanya lagi bergantian. Matanya menyipit. Mengantisipasi.

"Iya."

"Oh iya Aila mana, Di?"

"Gak tahu. Paling ke tempat Nizam. Udah hilang duluan. Biasa," sahutnya seraya membuka Smartphone. Menyentuh aplikasi WhatsApp dan menuju kolom chatt antara dia dengan Arkan.

"Itu." Suara Akbar disertai lirikan ke arah dua meter ke depan membuat ketiganya sontak mengalihkan pandang.

Di sana Aila, baru datang dan tersenyum lebar menatap satu tuju, Nizam. Ketiganya memperhatikan apa yang dilakukan gadis itu sekarang. Mengusir seroang siswi dan dia duduk di sana.

"Tuh kan!" Dian kembali ke posisinya semula, mengetikkan sebuah chatt lalu menaruhnya di atas meja. "Ke mana lagi sahabat lo, kalau gak ngikutin Nizam?"

"Dia harus dikasih pelajaran. Kalau bisa, gue buat dia out dari sini." Vano yang masih menatap tajam pada Nizam membuka suara. Sontak ketiganya kompak menoleh.

"Mau lo apain?"

"Apa aja asal dia bisa keluar dari sini. Gue gak suka liat Aila ngintilin dia terus."

Dian paham tentu saja Vano kesal, pasalnya karena Nizamlah Aila seperti ini. Bahkan yang lebih mirisnya, peluang Vano untuk menginginkan Aila kembali menipis. Dari dulu cintanya bertepuk sebelah tangan.

Poor Vano

Sepertinya dia harus memikirkan sesuatu agar Aila kembali seperti semula dan bahkan membenci Nizam

"Mau buat dia out, lo yang out nanti bego!" Akbar berdecak.

Vano bersungut kesal. Tangannya mengepal. Panas melihat Aila yang kini tersenyum manis pada Nizam.
Sebenarnya ketiganya juga sama kesal.  Aila selalu menolak nongkrong, buat ulah bahkan menolak bolos dengan banyak alasan.

"Gue ada ide!" Dian menjentikkan jarinya dengan senyum licik. 

Akbar, Gian dan Vano kompak juga menoleh penasaran. "Apa?"

Satu sudut bibir Dian tertarik, badannya dicondongkan sedikit ke depan. Dian mulai berbisik. Akbar, Gian dan Vano tersenyum puas. Mata mereka melirik ke meja tempat Aila dengan senyuman miring.

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang