[37] Jika Dia Tak Datang

1.2K 247 27
                                    

MOHON VOTE DULU YA SEBELUM BACA

SYUKRON🤗

_______________________________________________________

Kita harus memberikan peluang untuk seseorang berjuang. Karena keinginan agar bisa bersama dengan seseorang yang kita inginkan, tidak akan menjanjikan dia pasti akan datang.

-Memintamu dalam istighfar-

Sebelum keluar dari kamarnya untuk berangkat ke Sekolah, Dian menatap gundah layar ponselnya yang menampilkan chat terakhirnya dengan Ilham. Sejak dua hari lalu, pesannya seolah bagai furniture kolom chat. Cuman dilihat.

Dian mendesah. Mengetikkan kembali sebuah chat walaupun kemungkinan hasilnya sama saja. Setidaknya dia mencoba kan? Dian ingin tahu apa benar ilham memang marah padanya karena pernyataan lancang itu? Atau mungkin karena dia dipeluk Akbar?

[Assalamualaikum, Kak Ilham. Kenapa diemin Dian? Benar marah ya?]

Selang beberapa detik kemudian,status Ilham online membuat kedua sudut bibirnya tertarik. kembali diketiknya sebuah pesan berharap Ilham membalasnya.

[Kak Ilham]

Sayangnya ketika chatnya sudah dibaca. Ilham hanya membacanya saja Dian menatap nanar chatnya yang terabaikan, menghela nafas Panjang lalu mengantongi benda tipis itu dengan kecewa. Setelah menatap sejenak penampilannya dengan seragam biasa, rambut yang kini digulung, Dian melangkah keluar dengan tidak bersemangat.

"Berangkat ya, Non?"

Dian menoleh begitu sampai di lantai dasar, Bi Nini tengah berdiri di samping sofa dengan sebuah sapu di tangan beliau, ia mengangguk singkat. "Iya, Bi. Dian pergi ya? Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam, iya, Non. Den Akbar udah nunggu juga di depan."

"Hah Akbar di sini, Bi?"

"Iya, Non. udah sejak sepuluh menit lalu."

Dian segera keluar, memastikan apa benar Akbar di depan. Biasanya laki-laki itu datang kalau dia minta, atau setidaknya pasti mengabari kalau mau datang, tapi ini sama sekali tidak. Dian khawatir, apa ini juga bentuk keseriusan Akbar yang bilang akan berjuang?

Bola matanya menjelajah sekitar dan berhenti begitu seorang laki-laki berjaket hitam duduk di atas motor dan tengah tersenyum dengan tangan melambai.

"Lo ngapain?" tanyanya begitu berdiri di hadapan Akbar yang tiada henti menatapnya, membuat Dian agak resah karena diperhatikan terus. Mata bulatnya memperhatikan Akbar yang tak menjawab dan menyodorkan helm yang biasa dia pakai.

"Berangkat bareng."

"Kok nggak ngabarin sih, Bar?" protesnya tidak menerima helm tersebut.

"Ntar lo nolak."

Dian terdiam. Ini juga yang akan dilakukannya pagi ini. Menolak Akbar mengantarnya, bukan apa-apa, walaupun Dian belum merubah cara pakaiannya, tapi dia sudah tidak mau berboncengan dengan seorang laki-laki. Ilham membuatnya seperti itu.

"Tapi gue tetap nolak sekarang."

Akbar seolah tidak mendengar perkataan tersebut. Yang dilakukannya malah mengusap lembut puncak kepala Dian dan menepuk joknya. Sontak membuat Dian menjauhkan tangan tersebut dengan wajah kurang suka.

"Jangan pegang gue, Akbar."

"Ayo naik."

"Gue sendiri aja."

"Gue nggak pergi sampai lo mau." kekeuh Akbar membuatnya mendesah.

"Bar, jangan gini kenapa sih?"

Memintamu dalam Istighfar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang