Semua akan bersanding dengan guratan takdir yang sudah ada. Memaksakan tidak akan bisa jua. Karena soal bersama adalah keputusan akhir sang Maha Esa.
•Memintamu dalam Istighfar•
4 tahun Kemudian
"Bar, lo nggak perlu lagi berjuang."
Akbar sontak menoleh, menatap Dian yang menatap lurus ke air kolam lalu menatapnya sekilas dengan mata bulat yang masih memerah karena tangis.
"Gue nggak akan nunggu Kak Ilham. Gue bakal lupain dia," ucapnya serius. Dian pikir reaksi Akbar adalah laki-laki itu akan tersenyum senang atau bereaksi yang memperlihatkan dia senang mendengar ucapannya. Namun, Akbar hanya menatapnya dalam dengan wajah tidak yakin.
"Lo benar-benar mau lupain Ilham?"
Dian tersenyum tipis. "Gue kasih lo lebih banyak peluang, Bar. Seharusnya lo senang"
"Tapi lo nggak benar-benar serius Di. Lo masih mengharapkan dia kan?"
Dian bungkam. Bohong ia tidak membenarkan ucapan Akbar. ya Dian masih mengharapkan Ilham. Hati kecilnya menolak mentah-mentah keinginan hatinya. Walau rasa kesal Ilham yang cuek ketika dia merasa jatuh tak hilang. Tapi hatinya tidak bisa diajak berkompromi.
"Tatapan lo jelas ragu, Di. Mata lo bohong," lirih Akbar.
"Bar, gue serius-"
"Kita buat kesepakatan, Di. Lo masih bisa nunggu dia empat tahun. Tapi kalau dia gak datang-"
"Bar lo pantas untuk itu," tukas Dian. Sejenak ditatapnya Akbar sebelum ia beranjak ke tepi kolam, duduk di sana dan membenamkan setengah betisnya ke dalam air. "Gue heran, Bar. Ini yang lo mau. Tapi kenapa lo masih nyuruh gue nunggu kak Ilham?"
"Maksa lo harus terima gue sementara hati lo masih stay sama dia? Gue nggak bisa egois. Ada hati lo yang harus gue jaga, gue nggak mau lo terbebani. Kalau itu bahagia lo, gue gak apa-apa, Di."
Dian menoleh, menatap Akbar yang kini tersenyum tipis dan ikut duduk di sebelahnya. Hatinya merasa nyeri, Akbar masih mementingkan perasaannya ketimbang perasaan laki-laki itu sendiri yang pastinya tidak kalah patah.
"Bar sekarang mau gue, bukan lo yang maksa. Bar -"
"Gue selalu untuk lo, Di. Bukan berarti gue seegois itu kan?"
Seorang gadis bergamis dongker dengan outer panjang berwarna abu-abu, lengkap dengan khimar senada berwarna ungu itu menghela napas Panjang mengingat pembicaraannya dengan Akbar empat tahun lalu.
Akbar memang memberinya waktu menunggu. Dan sekarang di sinilah dia, menatap masjid dihadapannya. Mengingat masa lalu, bernostalgia sejenak, menerawang kembali pada masa lalu. Pada tempat yang menjadi saksi pertemuannya dengan Ilham. Mesjid ini menjadi saksi bisu bagaimana pertemuan mereka berlanjut namun tak selesai.
Ya sepertinya memang benar-benar tidak selesai.
Dia yang masih diharapkan dalam doa tak kunjung datang. Sedang detik kian mengikis waktu yang tersisa. Hari ini genap empat tahun, datang ke sini berharap ada sosok dia, namun nyatanya hanya bayang yang dia terima.
Dian tersenyum pahit. Mungkin benar sudah saatnya benar-benar melupakan dan mengikhlaskan. Lagian janjinya pada Akbar akan tetap berjalan. Kadang yang datang, hanya menjadi pembelajaran. Ibarat Ilham yang datang membuatnya menjemput hidayah, mengenalkannya pada Tuhan dan pergi jauh setelahnya. Sekali lagi hanya datang namun tidak untuk menetap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu dalam Istighfar ✓
EspiritualBagaimana jika yang jahat, nakal, suka clubbing jadi tokoh utama? Ini tentang Arasya Faradian Rayen, gadis 17 tahun dengan keluarga berantakan. Ia punya sahabat, sama-sama usil dan suka clubbing. Dian itu dingin, tapi dia mencintai sosok sempurna be...